Saturday, December 29, 2012

SYAHID LAPAN ( ACEH )





Tak jauh dari Kuta Gle, sekitar beberapa belas kilometer ke arah timur. sebuah situs sejarah perjuangan melawan Belanda juga terdapat di Desa Tambue Kecamatan Simpang Mamplam Kabupaten Bireuen. Situs tersebut berupa makam delapan pejuang yang dinamai Syahid Lapan. Dinamakan makam Syahid Lapan, karena di situ dimakamkan delapan pejuang yang gugur melawan Belanda. Mereka adalah Tgk Panglima Prang Rayeuk Jurong Binje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak Balee Ishak Blang Mane, Tgk Meureudu Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa Syehk Lancok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, dan Nyak Ben Matang Salem Blang Teumulek.

Kisah keheroikan para Syuhada Lapan sangat jelas tertulis pada dinding makam, pasukan pribumi binaan Belanda itu berjumlah 24 orang. Mereka semuanya bersenjata api, sedangkan pasukan delapan pejuang Aceh tersebut hanya bersenjatakan pedang. Mereka berhasil menewaskan semua serdadu Belanda tersebut.

Setelah pasukan Lapan berhasil melumpuhkan semua serdadu Belanda, lalu mereka mengumpulkan senjata milik penjajah tersebut. Tanpa mereka sadari tiba-tiba sejumlah serdadu Belanda lain datang dari arah Jeunieb memberi bantuan, Kedelapan pejuang itu diserang secara membabi buta dan gugur bersimbah darah. Jasad para syuhada tersebut kemudian dikebumikan dalam satu liang.

Kini, saban hari makam Syuhada Lapan banyak didatangi orang yang ingin bernazar. Bukan hanya dari Kabupaten Bireuen, tapi juga dari daerah lainnya di luar Kabupaten Bireuen. Para pengguna jalan juga selalu berhenti sebentar begitu tiba di depan kuburan Syuhada Lapan untuk memberi sumbangan.

Friday, December 28, 2012

SEKILAS SEJARAH TEUNGKU FAKINAH (ACEH )

Teungku Fakinah adalah seorang wanita yang menjadi ulama besar dengan nama singkatnya disebut Teungku Faki , pahlawan perang yang ternama dan pembangunan pendidikan ulung. Beliau dilahirkan sekitar tahun 1856 M, di Desa Lam Diran kampung Lam Beunot (Lam Krak). Dalam tubuh Beliau mengalir darah ulama dan darah penguasa/bangsawan. Ayahnya bernama Datuk Mahmud seorang pejabat pemerintahan dalam zaman Sultan Alaidin Iskandar Syah. Sedangkan ibunya bernama Teungku Muhammad Sa'at yang terkenal dengan Teungku Chik Lam Pucok, pendiri Dayah Lam Pucok, tempatnya Teungku Chik Ditiro Muhammad Saman belajar.

Sesudah Teungku Fakinah dewasa, dalam tahun 1872 dikawinkan dengan Teungku Ahmad dan Aneuk Glee oleh orang kampung Lam Beunot. Teungku Ahmad yang dipanggil Teungku Aneuk Glee ini membuka satu Deah/perguruan (pesantren) yang dibiayai oleh mertuanya Teungku Muhammad Sa'at atas dukungan orang Lam Beunot dan Imuem Lam Krak. Pesantren ini banyak dikunjungi oleh pemuda dan pemudi dari tempat lain disekitar Aceh Besar, bahkan ada juga yang datang dari Pidie. Tatkala menentang serangan I Belanda, Teungku Imam Lam Krak serta Tengku Ahmad/Teungku Aneuk Glee tarot dalam pasukan VII Mukim baet mempertahankan Pantai Cermin tepi laut Ulee Lheu yang di komandokan oleh panglima Polem Nyak Banta dan Rama Setia.

Dalam pertahanan perang itu pada tanggal 8 April 1873 tewaslah Panglima perang besar Rama Setia, Imeum Lam Krak, Tengku Ahmad Anuek Glee suami dari Tengku Fakinah dalam membela Tanah Air. Semenjak Tengku Fakinah telah menjadi janda yang masih remaja. Maka semenjak itulah beliau membentuk Badan Amal Sosial untuk menyumbang Darma Baktinya terhadap Tanah Air yang terdiri dari janda-janda dan wanita-wanita lainnya untuk menjadi anggota amal tersebut Badan yang didirikannya itu mendapat dukungan dari kaum Muslimat disekitar Aceh Besar yang kemudian berkembang sampai ke Pidie.

Anggota Badan Amal Sosial ini menjadi sangat giat dalam mengumpulkan sumbangan rakyat yang berupa perbekalan berupa padi dan uang. Selain dari anggota yang bergerak mengumpulkan perbekalan peperangan, bagi anggota yang tinggai di tempat, mereka sibuk mempersiapkan makanan untuk orang yang datang dari luar seperti Pidie, Meureudu, Salamanga, Peusangan dan lain-lain untuk membantu perang dan menuangkan timah untuk pelor senapan, semua pekerjaan itu dibawah pimpinan Teungku Fakinah.

Teungku Fakinah merupakan Panglima Perang melawan agresi Belanda, tidak mau tetap dikediamannya, bahkan hilir mudik keseluruh segitiga Aceh Besar untuk menjalankan Diplomasi, mendatangi rumah orang-orang besar dan orang-orang kaya untuk meminta zakat dalam rangka membantu peperangan Aceh yang sedang berkecamuk. Dan kegiatan yang dilakukannya itu, memperoleh hasil yang lebih besar yang kemudian disalurkan sebagai biaya peperangan.

Thursday, December 27, 2012

PEUDEUNG ON TEUBEE ( ACEH )

Selain rencong dan siwah, di Aceh juga banyak jenis senjata tajam dalam bentuk pedang, termasuk jenisnya. Mungkin ada sekitar 10 jenis pedang yang sangat terkenal di Aceh. Namun, di sini hanya akan diuraikan satu jenis pedang yang terkenal di Aceh, baik bentuk, kegunaan dan cara memakainya. Pedang-pedang itu sendiri kini sudah langka. Salah satu jenis pedang sangat terkenal di Aceh adalah Peudeung On Teubee (pedang daun tebu). Dinamakan demikian karena bentuk mata pedang ini mirip daun tebu, yaitu tipis dan panjang. Pedang ini sangat ampuh dipergunakan saat perang melawan kompeni pada abad-abad lalu di Aceh.

Yang menarik dari bentuk pedang ini adalah gagangnya. Pada gagang pedang ini ada pelindung tangan yang terbungkus besi baja. Di kedua sisi pangkal matanya terdapat besi penjepit yang panjangnya sekitar 10 cm, penjepit yang ada pada pangkal gagang berguna untuk mematahkan pedang musuh jika pedang musuh masuk ke penjepit ini.

Peudeung On Teubee (pedang daun tebu) ini juga dihiasi dengan tampok (gagang) di ujung gagangnya seperti tampok kupiah meuketop (mahkota). Gagang ini berbentuk bintang tiga lapis, tapi lebih kecil dari tampok kupiah karena harus disesuaikan dengan gagang pedang. Biasanya gagang ini terbuat dari emas atau perak yang diukir dan dihiasi permata. Begitu pula pada penahan (pelindung) tangan, juga dilapisi emas atau perak yang diukir dengan motif-motif khas Aceh yang indah. Di ujung gagang, terdapat besi bulat yang dibungkus emas dalam bentuk runcing. Gunanya, bila tiba-tiba ada musuh dari belakang bisa ditusuk tanpa harus memutar badan.

Sunday, December 23, 2012

SIWAH ( ACEH )

Senjata ini sejenis dengan rencong yang juga merupakan senjata untuk menyerang. Bentuknya hampir sama dengan rencong tetapi siwah ukurannya melebihi dari rencong. Siwah sangat langka ditemui, selain harganya mahal, juga merupakan bahagian dari perlengkapan raja-raja atau ulebalang-ulebalang. Namun demikian untuk siwah yang telah diberikan hiasan emas dan permata pada sarung dan gagangnya lebih berfungsi sebagai perhiasan dari pada sebagai senjata.

Friday, December 21, 2012

JEUNGKI ( ACEH )




Era keperkasaan jeungki kini tergusur oleh kecanggihan teknologi mesin, suara alunan jeungki yang beraturan itu kini sudah jarang terdengar seiring waktu diguras modernisasi. Alat tumbuk tradisional itu terbuat dari kayu pilihan yang kuat, dan batu yang dibuat sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti mangkuk. Teknologi era penjajahan ini tidak menggunakan energi fosil sehingga ramah lingkungan dan membuat penggunanya sehat.

Cara kerja alat ini digerakkan dengan ujung kaki yang dihentak, titik tumpang lebih ke ujung pengungkit sehingga memberikan pukulan yang lebih keras, di ujung pengungkit dipasang suatu kerangka terdiri atas dua bagian tegak lurus yang dihubungkan oleh kayu as (penggerak) harizontal sepanjang minimal empat meter sehingga jeungki naik dan turun, diujung sisi yang lain tempat dipasangkan alu (alèe) panjang kira-kira 50 cm untuk menumbuk pada lesung. Ada tiga komponen utama sebuah jeungki yaitu; jeungki, alu dan lesung (lusông).

Pada proses kerja alat ini juga diperlukan keahlian khusus, terutama orang yang bertugas di bagian lesung, karena bahan yang ditumbuk di dalam lesung diatur secara manual dengan tangan agar tumbukan tidak keluar dari lesung (lusông). Biasanya alat ini dioperasikan oleh kaum ibu.

Akan tetapi sedikit banyaknya jeungki ini masih terdapat di kampung-kampung, walaupun ada yang tidak digunakan lagi, dan di kota-kota besar sebagai barang hiasan masyarakat kelas atas dan para kolektor benda-benda sejarah. Tak ada lagi yang indah dari alat manual ini kecuali kenangan, mungkin 10 tahun ke depan alat ini tinggal nama, satu bagian budaya hilang bersama arus kemajuan peradaban.

Wednesday, December 19, 2012

LONCENG CAKRA DONYA ( ACEH )

Lonceng Cakra Donya merupakan benda bersejarah yang kini merupakan salah satu koleksi Museum Aceh. Menurut sejarahnya lonceng ini diberikan oleh kerajaan China melalui Laksamana Cheng Ho yang merupakan pelayar tangguh, sebagai ikatan persahabatan antara kerajaan China dengan Kerajaan Aceh.

Cakra Donya adalah lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina 1409 M, dengan tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Cakra berarti poros kereta, lambang-lambang Wishnu, cakrawala atau matahari. Sedangkan Donya berarti dunia. Pada bagian luar Cakra Donya terdapat hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Cina dan Arab. Aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo(Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5). Sedangkan aksara Arab tidak dapat dibaca lagi.

Pada dasarnya Lonceng Cakra Donya adalah nama sebuah kapal perang Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yaitu Kapal Cakra Donya di mana lonceng ini digantungkan, dalam penyerbuannya terhadap Portugis di Malaka. Akan tetapi, sejak tahun 1915 M Lonceng Cakra Donya dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam kubah tersebut. Rantai Lonceng Cakra Donya panjangnya 9,63 cm adalah rantai besi yang dahulu pernah dipakai untuk menggantung Lonceng Cakra Donya pada pohon kuda-kuda di depan Mesjid Baiturrahim dalam kompleks Istana Kesultanan Aceh Darussalam sampai tahun 1915.

TGK. HAJI HASAN KRUENG KALEE ( ACEH )

 Sejak kecil Tgk. Haji Hasan Krueng Kalee sudah mendapatkan pendidikan agama dari ibunya sendiri disamping ayahnya. Teungku Haji Muhammad Hanafiah, terutama membaca Al-Qur’an dan lain-lain. Ibunya juga seorang anak ulama yaitu Nyakti Hafsah binti Tgk Syaikh Ismail Krueng Kalee. Dalam pengasingannya di Pidie beliau sebagai guru wanita di mukim Sangeue Kabupaten Pidie. Sedangkan pelajaran agama lainnya seperti nahu, sharaf, ilmu fiqh, ilmu ma’ani, ilmu tafsir, sejarah Islam dan sebagainya beliau diajarkan langsung oleh ayahnya, yaitu Tgk Haji Muhammad Hanafiah (Tgk Haji Muda). Selain itu, pendidikan dasar Tgk Haji Hasan Krueng Kalee adalah membaca kitab-kitab yang berbahasa Melayu Jawa selain membaca Al-Qur’an pada Syaikh Umar Lam-Ue di Keudah, ayah Tgk Hasballah Indrapuri, kemudian pada Syaikh Abdul Maniem di Mekkah serta mempelajari juga kitab-kitab jawa sampai ke tingkat tinggi, seperti Madlail Badraini dan Minhajul ’Abidin. Kemudian beliau mempelajari kitab-kitab berbahasa Arab di Keudah – Malaysia, kemudian ke Mekkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah.

Tgk Haji Hasan Krueng Kalee yang telah menjadi muda remaja berangkat ke Keudah – Malaysia untuk memperdalam ilmu pengetahuan yang telah beliau pelajari. Selain itu, keberangkatan beliau ke Keudah adalah atas dorongan Teuku Raja Keumala, Tgk Syaikh Ibrahim Lambhuk disamping ayahanda beliau sendiri, disana beliau memperdalam ilmu pengetahuan selama beberapa tahun. Sudah semenjak lama, Dayah di Keudah menjadi pusat pendidikan Islam di Semenanjung tanah Melayu, dimana para sultan Kerajaan Aceh Darusssalam mengirim ulama-ulama besar kesana untuk membangun dayah sebagai lembaga pendidikan utama untuk daerah-daerah Tanah Seberang.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam abad ke-16 dan 17, terutama dalam masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (1016-1045 H, atau 1607-1636), sebagian besar semenanjung tanah Melayu, termasuk Keudah, berada dibawah perlindungan Kerajaan Aceh Darussalam. Demikianlah, Dayah berjalan baik dari zaman ke zaman, sehingga pecah peperangan di Aceh antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Belanda. Dan setelah pecah peperangan yang dahsyat itu, maka sejumlah ulama-ulama besar hijrah ke Keudah, yang tidak diminta untuk memimpin peperangan, sehingga Dayah waktu itu menjadi pusat pendidikan Islam, juga untuk putra-putri Aceh yang wilayah negaranya sedang dibakar api peperangan.

Dalam peperangan sedang berkecamuk di Aceh itu, salah seorang diantara putra-putranya yang bertolak ke Keudah, yaitu Hasan, putra Teungku Haji Muhammad Hanafiah, yang sedang kita bicarakan ini, dan yang memimpin Dayah dikala pemuda Hasan tiba disana, yaitu Teungku Haji Muhammad Arsyad.

Tgk Haji Hasan Krueng Kalee yang telah mempunyai pengetahuan cukup dalam hal agama Islam dan telah lancar mempergunakan bahasa Arab. Atas persetujuan gurunya pada tahun 1910 beliau berangkat ke tanah suci dalam rangka menunaikan rukun Islam yang ke Lima (ibadah Haji) serta untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi pada pusat pendidikan Islam Masjidil Haram Makkah.

Disana beliau memperdalam ilmu pengetahuan agama pada Syaikh-syaik terkenal di Mekkah. Diantara guru-guru beliau selama berada di Mekkah adalah Syaikh Said Al-Yamani Umar bin Fadil, Syaikh Khalifah, Syaikh Said Abi Bakar Ad-Dimyaty dan Syaikh Yusuf An-Nabhany.

Selain pengetahuan Islam secara umum, pemuda Hasan khusus mendalami ilmu tauhid, fiqh (hukum Islam), tafsir, ilmu falaq, ilmu tasawwuf, dan sejarah Islam, dimana akhirnya Tgk Haji Hasan Krueng Kalee mendapat ijazah dalam ilmu-ilmu tersebut, sehingga karena dia telah boleh memakai lakab ulama di muka namanya. Di tiap-tiap jenjang lamanya Tgk Haji Hasan Krueng Kalee belajar tujuh tahun sehingga sampai dapat membaca Fathul Mu’in, Minhajul ’Abidin, serta sudah bisa membaca kitan Mahally (Qalyubi wa ‘Umairah) dan Fathul Wahab.

Tuesday, December 18, 2012

MASJID TUO AL-KHAIRIYAH

 
Tapaktuan, banyak orang teringat taluak, nama lain sebutan Ibukota Kabupaten Aceh Selatan yang didiami mayoritas suku “aneuk jamee”. Tapaktuan terletak di pesisir selatan Aceh yang dapat ditempuh melalui jalan darat dari Banda Aceh-Medan. Di kota inilah, terdapat satu bangunan masjid yang tergolong tua. Masyarakat di sana menamakan Masjid Tuo. Tuo, barasal dari bahasa Minang yang berarti tua.
 
Masjid Tuo, masih tetap difungsikan sebagai sarana ibadah salat berjamaah setiap waktu dan menyelenggarakan salat Jumat. Pada bulan Ramadan seperti tahun ini, ratusan jamaah melaksanakan salat tarawih bersama. Selain tempat rutinitas beribadah, masjid yang tampak bercorak tradisional itu, juga dijadikan tempat pengajian Al-Quran bagi anak-anak yang dikelola oleh TPA Al-Khairiyah Tapaktuan.

 

Menurut Imam Masjid Tuo Al-Khairiyah Tapaktuan Ustad A. Nasriza, masjid ini dibangun lebih dari seratus tahun lalu oleh pedagang rempah-rempah yang berlayar dari Padang. Pada masa itu, Taluak atau Teluk, disinggahi banyak saudagar kaya yang berdagang di pesisir pantai barat-selatan Aceh.
 

Uniknya, tidak ada satu paku pun pada pembuatan bangunannya, tetapi semua dipahat atau dipasak. Memang, perputaran zaman dan dinamika masyarakat dan jamaahnya yang semakin banyak dari hari ke hari, maka bangunan masjid mau tidak mau tetap berubah. Di samping kiri kanan telah dibuat teras. Dan, di sisi kiri sudah ditambah bangunan yang dapat melebarkan pelatarannya.
 
Di dalam Masjid Tuo, tersimpan sebuah benda sejarah yang berfungsi banyak pada masa lalu. Karya anak Taluak, berupa beduk besar tersebut sering dipamerkan pada ajang pameran benda bersejarah seperti pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Di bagian luar beduk dari kayu bulat berdiameter lebih dari 200 cm itu bertuliskan "hasil karya putra Tapaktuan". Sayang, beduk tersebut tidak difungsikan lagi. Padahal, pada bulan-bulan Ramadan, beduk itu bisa dijadikan sebagai tanda berbuka puasa pengganti sirene, paling tidak untuk masyarakat di sekitarnya.

 

Menurut penuturan Imam Masjid A. Nasriza, banyak orang yang niat untuk dapat shalat di masjid ini. Bahkan, Syech Muda Waly Al-Khalidi (seorang ulama besar pendiri pondok Pesantren Darussalam Labuhan Haji), di waktu muda selalu menyempatkan shalat di masjid yang terletak semula di bibir pantai Teluk Tapaktuan itu. "Hal itu sering pula diikuti oleh anak-anak almarhum," ujar A. Nasriza.

Saturday, December 15, 2012

MASJID TEUNGKU DI ANJONG




Sekilas tak ada yang istimewa pada masjid yang terletak di lembah Krueng (Sungai) Aceh ini. Selain arsitekturnya masih kental nuansa tradisional, bangunannya juga tak begitu besar dan mewah. Namun di balik kesan sederhana itu, Masjid Teungku di Anjong menyimpan sejarah panjang yang unik dan heroik. Masjid yang sempat disapu tsunami pada 24 Desember 2004 dan terletak di Gampong (Desa) Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh.

Masjid ini salah satu masjid tertua di Ibu Kota Provinsi Aceh. Sebuah riwayat menyebutkan masjid ini dibangun pada 1769 oleh Sayyid Abubakar bin Husain Bilfaqih, seorang ulama besar dan pengembara Islam dari Hadramaut, Yaman, yang menetap di Aceh. Semasa Sultan Alaudin Mahmudsyah (1760-1781) memimpin Kerajaan Aceh Darussalam, beliau dijuluki oleh masyarakat Aceh sebagai Tengku di Anjong dan namanya diabadikan pada mesjid tersebut.

 

Anjong berasal dari kata sanjungan yang di Aceh-kan. Beliau disanjung dan sangat dimuliakan oleh umat, sebab memiliki akhlak yang baik dan ilmu agama Islam yang luas. “Versi lain menyebutkan Tengku di Anjong, berasal dari anjungan rumah. Karena menurut cerita orang, beliau sempat tinggal di anjungan rumah mertuanya setelah menikahi anak seorang ulu baling di Ulee Kareng (Banda Aceh),” kata Abdul Salam (50), pengurus masjid Teungku di Anjong itu.
 

Sebuah catatan menyebutkan, Sayyid Abubakar hijrah ke Aceh pada 1642, dan lainnya menyebutkan pada 1742. Sayyid Abubakar diutus dari Yaman ke Asia Tenggara untuk menyebar agama Islam. Pada saat bersamaan dua ulama seangkatannya juga ditugaskan untuk mengembara ke India dan Mesir. Setibanya di Aceh, Sayyid Abubakar tak langsung mendirikan masjid. Beliau menyulap rumah pribadinya yang dikenal dengan nama rumoh cut sebagai dayah (Pesantren) yang belakangan makin terkenal. Akhirnya bangunan dayah (Pesantren) ini dijadikan masjid, namun aktivitas belajar mengajar tetap berjalan seperti biasa.
 

Selain tempat belajar ilmu agama, dayah (Pesantren) dan masjid ini juga menjadi pusat menasik haji. Para calon jamaah haji dari berbagai daerah di nusantara dan semenanjung Malaya, singgah dulu di Peulanggahan untuk belajar tata cara melaksanakan ibadah haji, sebelum melanjutkan perjalanan ke Tanah Suci. Kapal-kapal yang mengangkut calon jamaah melalui Selat Malaka transit dan ikut menasik haji selama sebulan yang dipandu oleh Teungku di Anjong. Sayyid Abubakar ikut menyediakan penginapan bagi calon jemaah yang ikut menasik di kompleks masjid.
 

Setelah Teungku di Anjong meninggal dunia pada 14 Ramadan 1100 H atau sekira 1782, tak ada catatan siapa yang melanjutkan roda kepemimpinan masjid dan dayah (Pesantren) tersebut. Namun diakui saat itu aktivitas belajar mengajar tetap berjalan.

Thursday, December 13, 2012

TEUNGKU CHIK AWEE GEUTAH

 
Awee Geutah – Orang-orang dari berbagai tempat selalu ramai mengunjungi makam dan peningalan ulama besar Aceh Tgk Chik Awee Geutah di Peusangan Siblah Krueng, Bireuen. Pada bulan Awal Syakban atau Juni 2012, datang rombongan dari Dayah Tgk Chik Tanoh Abee, Seulimum, Aceh Besar, sebanyak 95 mobil dalam dua kafilah.

Mereka menziarahi makam Tgk Chik Awee Geutah seraya bersilaturrahmi dengan keturunannya Tgk Muhyen Nufus yang sempat menimba air dari sumur khalud untuk para rombongan. Menurut Tgk Muhyen Nufus, sumur tersebut dinamakan mon (sumur) khalud karena dekat balai khalud.

 

Ada juga yang menyebutkan sumur tersebut sebagai sumur zamzam karena Tgk Chik Muhammad Zen (anak Tgk Chik Awee Geutah) membawa air zamzam sepulang belajar di Mekah, lalu air zamzam dituangkannya ke sumur tersebut.

Hari itu, Ramadhan 1433 H, bertepatan 27 Juni 2012, Jumat, kami mengunjungi Komplek Makam Tgk Chik Awee Geutah yang luasnya sekitar 1,5 hektar. Tampak bale khalud tertutup. Ada sekitar sepuluh orang lelaki dan perempuan sedang berkhalud di sana. Tiap Ramadhan ada yang berkhalud di sini, sekitar sepuluh orang selalu ada, kadang lebih, kadang kurang,” kata pimpinan dayah Tgk Chik Awee Geutah ini.

Wednesday, December 12, 2012

MAKAM SYIAH KUALA

 

Makam Syiah Kuala juga menjadi daya tarik wisata tempat disemayamkannya Tengku Syiah Kuala adalah seorang yang berpengaruh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Makam ini diziarahi oleh umat Islam dari berbagai penjuru tanah air termasuk luar negeri.
Letaknya ditepi pantai sekitar 7 km dari pusat kota dapat ditempuh dari dua arah yaitu Alue Naga dan Jalan Syiah Kuala. Nama asli Tengku Syiah Kuala adalah Syech Abdurrauf Bin Ali Al Jawi Al Fansuri Al Singkeli.
Tengku Syiah Kuala di angkat menjadi Khadhi Malikul Adil atau Mufti Besar di Kerajaan Aceh selama tiga periode pemerintahan Sultanah yaitu Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1614 – 1675), Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin (1675 – 1678) dan Sultanah Zakiatuddin Inayatsyah (1678 – 1685).

Selama menjabat khadhi Malikul Adil, semua yang berhubungan dengan pelaksanaan hukum menjadi wewenang beliau, sedangkan pelaksanaan adat berada dibawah tanggung jawab raja. Beliau wafat dalam usia 73 tahun dan dimakamkan di Desa Kuala, Meunasah Dayah Raya Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh

Beliau lahir di Singkil pada tahun 1620 dan meninggal dunia pada tahun 1693 dalam usia 73 tahun di Kuala Aceh serta nama beliau diabadikan sebagai salah satu nama ruas jalan dalam Kota Banda Aceh dan nama Universitas negri.

Tuesday, December 11, 2012

TUGU COT PLIENG

Monumen Cot Plieng, terletak di pinggir jalan negara Medan -Banda Aceh, sekitar 12 kilometer arah timur kota Lhokseumawe. Lokasi ini termasuk dalam wilayah Kec. Syamtalira Bayu, Aceh Utara. Di sini, dulu terjadi peristiwa heroik para ulama Aceh Utara, menentang kerjasama dengan Jepang, sampai-sampai lahirnya semboyan. "Talet bui, tapeutamong asei." (Bahasa daerah Aceh). Artinya, mengusir babi, menerima anjing. Untuk menyegarkan kembali ingatan kita, Waspada menjadikan nara sumber Prof. A. Hasjimy (almarhum), sesuai buku "Semangat Merdeka" yang sejarah ini disusun beliau semasa hayatnya.

Secara umum, ketika itu ulama di Aceh terbagi dalam dua komponen. Pertama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang disebut dengan ulama muda, sedang komponen kedua. Yaitu, ulama non PUSA yang disebut dengan ulama tua (Abu) yang kesemuanya pimpinan dayah/pesantren. Ulama muda melawan Jepang dengan politik, sementara ulama tua melawan Jepang
, dengan oposisi keras atau perlawanan bersenjata yang cukup memusingkan Jepang untuk menghadapinya.

Reaksi ulama tua ini sangat membantu perjuangan politik ulama muda (PUSA), dalam rangka mendesak Jepang agar memberi kesempatan yang luas kepada para ulama untuk duduk seiring di dalam pemerintahan. Ini siasat (politik), atau langkah awal ke arah perebutan Indonesia ini dari tangan penjajah.

Perjuangan PUSA berhasil, dengan uluran Jepang memberi hak kepada ulama untuk membentuk Mahkamah Syariah seluruh Aceh, termasuk personil Pengadilan Negeri (PN) diisi para ulama. Juga para pemuda PUSA/Kasysyafatul Islam, diterima untuk dilatih menjadi perwira dalam organisasi ketenteraman Gyugun dan Tokubetsu.

Tgk. Abdul Jalil dan kawan-kawan secara diam-diam melakukan dakwah anti Jepang, dengan seruan jihad fisabilillah dari desa ke desa dalam Kabupaten Aceh Utara. Akhir tahun 1942 dakwah diam-diam itu berubah jadi terang-terangan. Dakwah ini cepat tersulut, karena sikap Jepang yang kejam, kasar dan biadab turun perintah kirei (hormat) kepada Tenno Haika dengan menghadap ke timur.

Di sinilah terjadi pertempuran cukup dahsyat (usai shalat Jumat), sampai terjadi satu lawan satu dengan pedang dan rencong. Demikian pula Jepang, melawan Teungku dengan senjata tajam, karena semangat para pahlawan ulama cukup membara dan meradang menerjang dengan pekikan Allahu Akbar, sehingga Jepang tidak mungkin lagi menggunakan senjata api.

Pada pertempuran ini, sekitar 109 orang mujahid Aceh syahid. Juga di pihak Jepang, tidak kurang pula dari angka tersebut karena pertempuran heroik satu lawan satu, dengan logikanya, seberapa pahlawan Aceh yang syahid demikian juga serdadu Jepang yang mati.

Tgk. Abdul Jalil ikut syahid dalam pertempuran ini, dengan rekan-rekan lainnya yang terkenal dalam catatan sejarah, antara lain Tgk. Muhammad Hanafiah, Tgk. Muhammad Abbas Punteuet, Tgk. Badai, Tgk. Bidin, Tgk. Husen Hasyem, Tgk. Muda Yusuf dan Tgk. Nyak Mirah.

Monday, December 10, 2012

SEJARAH BERDIRINYA KOTA BANDA ACEH

Banda Aceh atau Banda Aceh Darussalam telah dikenal sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam sejak tahun 1205 dan merupakan salah satu kota Islam Tertua di Asia Tenggara. Kota ini didirikan pada hari Jumat, 1 Ramadhan 601H (22 April 1205) oleh Sultan Alaidin Johansyah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri. Berdasarkan hal tersebut maka diaturlah Peraturan Daerah Aceh Nomor 5 Tahun 1988 yang menetapkan tanggal 22 April 1205 sebagai tanggal berdirinya kota tersebut. Banda Aceh Darussalam pernah menderita kehancuran pada waktu pecah "Perang Saudara" antara Sultan yang berkuasa dengan adik-adiknya, peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut Muhammad.

Selain itu dalam beberapa catatan sejarah, diketahu bahwa Laksamana dari kerajaan Cina, Cheng Ho pernah singgah di Banda Aceh dalam ekspedisi pertamanya antara
tahun 1405-1407 setelah singgah terlebih dahulu di Palembang. Pada saat itu kerajaan Aceh dikenal dengan kerajaan Samudera Pasai. Pada saat itu Cheng Ho memberikan lonceng raksasa "Cakra Donya" kepada Sultan Aceh, untuk rujukan yang kini tersimpan di museum Banda Aceh.

Pada saat terjadi perang melawan ancaman kolonialisme, Banda Aceh menjadi pusat perlawanan Sultan dan rakyat Aceh selama 70 tahun sebagai jawaban atas ultimatum Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1837. Setelah rakyat Aceh kalah dalam peperangan ini maka diatas puing kota ini pemerintahan kolonial Belanda mendirikan Kutaraja yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal Van Swieten di Batavia dengan beslit yang bertanggal 16 Maret 1874.

Pergantian nama ini banyak terjadi pertentangan di kalangan para tentara Kolonial Belanda yang pernah bertugas dan mereka beranggapan bahwa Van Swieten hanya mencari muka pada Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan para pejuang Aceh dan mereka meragukannya.

Setelah masuk dalam pangkuan Pemerintah Republik Indonesia baru sejak 28 Desember 1962 nama kota ini kembali diganti menjadi Banda Aceh berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963.

Friday, December 7, 2012

PANGLIMA POLEM

Panglima Polem bernama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang berasal dari Aceh. Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahiran Panglima Polem, yang jelas ia berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima Polem VIII Raj
a Kuala anak dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan. Panglima Sagoe XXII Mukim Aceh Besar.

Panglima Polem pernah meninggalkan sebuah catatan pengalaman perjuangannya yang mengisahkan bagaimana kesetiaan Aceh terhadap negara Republik Indonesia. Catatan yang diberi judul “Memoir” yang ditulis sendiri Panglima Polem, dalam kata pengantarnya disebutkan, “uraiyan dalam Memoir ini berdasarkan pengalaman yang saya kerjakan, yang saya lihat, saya dengar, saya alami, ataupun berdasarkan laporan-laporan di masa lampau”.

Catatan Memoir Panglima Polem ini lama sekali terbekukan dalam bentuk tensilan, tidak ada yang membukukan secara sempurna. Padahal Memoir Panglima Polem ini adalah suatu catatan sejarah yang sangat berharga dan penting diketahui oleh setiap anak bangsa di negeri ini, karena dalam catatan Memoir ini kita akan memahami bagaimana setianya rakyat Aceh terhadap Republik Indonesia.

Kita bersyukur, akhirnya catatan Memoir Panglima Polem yang sangat berharga ini kemudian dibukukan dengan judul “Teuku Muhammad Ali Panglima Polim: Sumbangsih Aceh Bagi Bagi Republik”. Memoir yang disunting oleh Dr. Teuku Muhammad Isa,MPH,MA dan diterbitkan oleh Pusataka Sinar Harapan Jakarta, tahun. 1996 ini, memang sangat menarik untuk difahami isinya. Menariknya bukan saja kerana lika-liku perjuangan Panglima Polem yang telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya kepada Republik Indonesia, tapi dengan Memoir yang telah dibukukan ini kita akan mengatahui sejarah bagaimana kesetiaan rakyat Aceh terhadap Republik yang bernama Indonesia.

Sebelum penyerangan dilakukan, Panglima Polem sempat memberikan pidato singkat kepada rakyat Seulimum yang akan ikut dalam gerakan pemberontakan terhadap Belanda. “Pemberotakan ini adalah pemberontakan perang mengisir Belanda musuh kita, dan ini adalah perang suci. Oleh sebab itu dalam perang ini perlu dijaga norma-norma kesopanan menurut petunjuk agama, jangan melewati batas, jangan membunuh wanita, anak-anak dan orang tua,” kata Panglima Polem dalam pidatonya ketika itu.

Maka tepatnya tengah malam 24 Pebruari 1942 penyaerangan dilakukan, Belanda kalang kabut, seorang Controleur Belanda bernama Tigerman yang bertugus di Pos Kolonial Seulimum terbunuh dalam pemberontakan itu. Esok harinya langsung tersiar berita keseluruh Aceh bahwa Panglima Polem sudah melakukan pemberontakan terhadap Belanda di Seulimum, Aceh Besar.

Sebagai putra bangsa yang setia pada perjuangan kemerdekaan Panglima Polem juga tak tinggal diam pada masa pendudukan Jepang di Aceh. Meskipun posisinya sebagai Kosai Kyokutyo (Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat) Pemerintahan Jepang waktu itu, Panglima Polem tatap saja berjuang memonitor perkembangan perjuangan kemerdekaan.

Sampai suatu hari tepatnya 23 Agustus 1945, Panglima Polem bersama T.Nyak Arif dan Tgk. Muhammad Daud Beureueh dipanggil Tyokang (Kepala Pemerintahan Sipil Jepang untuk Aceh) memberi tahu bahwa Jepang sedang berdamai dengan sekutu, karena dijatuhkannya bom atom di Hirosyima. Dari pemberitahuan itu sebenarnya Panglima Polem, T.Nyak Arif dan Daud Beureueh sudah tahu bahwa Jepang sudah menyerah kalah.

Ketika Presiden Sukarno berkunjung ke Aceh bulan Juni 1948, Sukarno atas nama rakyat Indonesia dalam sebuah pidato jamuan malam di Hotel Aceh dengan sejumlah pengusaha Aceh, waktu itu GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh), Presiden Sukarno tidak segan-segan meminta rakyar Aceh untuk dapat membelikan sebuah pesawat udara untuk kepentingan pemerintahan Indonesia yang baru merdeka. “Saya belum mau makan malam sebelum ada jawaban pasti ‘ya’ atau ‘tidak’ dari saudara-saudara,” kata Presiden Sukarno diakhir pidatonya malam itu. Maksudnya, Sukarno ingin sebuah jawaban yang jelas dari rakyat Aceh untuk menyanggupi memberikan sebuah pesawat udara untuk kepentingan perjuangan Indonesia yang baru merdeka.

Dalam hal ini lagi-lagi Panglima Polem diuji kesetiannya kepada Republik Indonesia. Tanpa basa-basi atas nama GASIDA Panglima Polem mengabulkan permintaan Presiden Sukarno untuk menyumbangkan sebuah pesawat terbang kepada pemerintah Republik Indonesia.

Sayangnya, meskipun Panglima Polem salah seorang putra bangsa Aceh terbaik di Indonesia yang telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun di hari-hari tuanya, nasip Panglima Polim sungguh menyedihkan. Beliau difitnah dan kemudian dijebloskan ke dalam penjara Republik tercinta, penjara negara yang ia perjuangkan kemerdekaannya. Panglima Polem diringkus dalam tahanan Cipinang, Jakarta, atas Surat Perintah Penguasa Perang A.H. Nasution tahun 1958. Padahal Panglima Polem saat itu masih menjabat sebagai penasehat khusus Dr. Idham Khalid, Wakil Perdana Menteri II Bidang Keamanan Republik Indonesia ketika itu.

Di tengah duka nestapa itulah akhirnya Panglima Polem menghembuskan nafas terakhir, kembali kehadhirat Ilahi Rabbi, 6 Januari 1974. Sungguh sebuah kesetiaan pengabdian yang diberikan kepada negara, tapi kesetiaan Panglima Polem terhadap negara yang ia perjuangkan kemerdekaannya, difitnah oleh negaranya sendiri.

SEKILAS BUDAYA DAN BAJU ADAT ACEH

* Budaya
 

Aceh memiliki budaya yang relatif tinggi. Kebudayaan ini pada dasarnya diwarnai ajaran Agama Islam, namun demikian pengaruh Agama Hindu yang telah berurat berakar sebelum masuknya Islam masih
tetap berpengaruh. Hal ini terlihat baik dalam adat istiadat, kesenian maupun kehidupan sehari-hari. Kesenian tradisional Aceh mempunyai identitas yang religius, komunal, demokratik dan heroik. Kesusastraan Aceh ada dalam bahasa Aceh dan Melayu (jawi) sementara bahasa Arab baik kata maupun ibaratnya banyak sekali mempengaruhi Kesusastraaan Aceh.
 

Pakaian sehari-hari di Aceh sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Kalalu wanita diwajibkan menutup aurat: dibawah kaki hingga tumit, lengan badan dan rambut. Di zaman dahulu, kaum wanita biasanya memakai celana panjang, akan tetapi oleh karena pergantian masa keadaan ini telah berubah. Dewasa ini, orang Aceh lebih suka memakai kain sarung dan blus batik, namun masih dalam keadaan tertutup aurat. Wisatawan jelas akan menjaga norma-norma di daerah ini. Pada saat bulan Ramadhan dan hari Jum'at akan nampak tanda-tanda Keislaman yang kuat. Selama bulan Ramadhan semua orang dewasa diharuskan berpuasa, tetapi tanpa menghambat aktivitas sehari-hari. Dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari, masyarakat menahan diri dari makan, minum dan merokok. Bagi non muslim yang ingin mencari makanan biasanya dapat dijumpai tempat-tempat tertentu yang diizinkan menjualnya, tanpa menganggu orang-orang yang berpuasa. Namun, restoran-restoran biasanya ditutup pada siang hari selama bulan puasa. Pada hari Jum'at, kaum pria maupun anak-anak pergi ke mesjid guna melaksanakan shalat karena hari tersebut merupakan hari paling mulia. Kantor-kantor dan pertokoan ditutup selama shalat Jum'at dilaksanakan.
 

Tata krama kehidupan masyrakat merupakan hal yang sangat penting, orang asing atau orang pendatang masuk ke suatu kampong, misalnya harus mematuhi peraturan tersebut paling tidak kepala kampong tahu atas kehadiran mereka. Lebih baik lagi, mereka dapat memperkenalkan dirinya dan saling berkenalan dengan yang lain. Apabila dua orang bertemu, mereka saling menyapa dengan mengucapkan "Assalaamu'alaikum", dengan jawaban "Walaikum Salam". Orang pertama memberikan salam kepada yang lain biasanya berjabat tangan.
 

* Agama
 
Penduduk yang mendiami wilayah Aceh keturunan dari bebagai suku bangsa dan etnis. Di samping itu terdapat pula berbagai tipe antara lain seperti Arab, Cina, Eropa, India. Sedangkan penduduk asli suku Aceh diperkirakan keturunan Melayu tua yang berasal dari Champa, kocincina dan Kamboja. Karena kedatangan Melayu muda dengan tingkat kebudayaan yang dapat dikatakan sudah tinggi pada waktu itu menyebabkan penduduk asli menyingkir pindah ke pedalaman. Orang-orang ini sekarang dikenal sebagai orang Gayo Aceh Tengah, dan alas di Aceh Tenggara.

 

Dari beberapa pertunjuk kegiatan Pelayaran di lautan memperlihatkan bahwa orang Aceh telah lama melakukan kontak internasional dengan dunia luar terutama sekali dengan Raja Cina yang berlangsung lama. Beberapa hadiah dari Raja masih ditemui di Aceh sekarang. Penduduk Aceh asli seluruhnya menganut agama Islam. Pemeluk agama lain seperti, Protestan, Katolik, Budha, Hindu, dan lain-lain hanya pendatang dari daerah lain atau Cina turunan dan orang asing. Secara keseluruhan jumlah yang menganut agama lain tidak lebih dari 4% dari jumlah penduduk. Sebagai pemeluk agama Islam masyarakat Aceh menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari bahkan adat istiadat pun banyak bersumber dari Islam. Oleh sebab itu Aceh dikenal dengan julukan Serambi Mekkah. Pemberian nama ini berkaitan dengan masuknya Agama Islam pertama ke Indonesia dari Mekah melalui Aceh. Kerajaan Islam pertama di nusantara terdapat di Aceh dan umat islam dari daerah-daerah lain yang ingin menunaikan ibadah haji ke Mekah melalui Aceh. Aceh menjadi tempat singgahan/transit waktu pergi dan pulang menunaikan ibadah haji.
 

Dalam percakapan sehari-hari masyarakat Aceh biasanya berbicara bahasa Aceh dan Indonesia meskipun di Ibu Kota, selain bahasa Aceh dan Indonesia ada beberapa dialek yang berbeda dalam penggunaan bahasa, di wilayah barat dan selatan dialek seperti Minang sedangkan dikuala simpang di daerah Melayu. Di Aceh Tengah berbahasa Gayo sementara di Aceh Tenggara orang berdialek Alas. Di beberapa tempat lain ditemui bahasa/dialek setempat.
Provinsi Aceh atau yang lebih dikenal dengan Serambi Mekah mempunyai kekayaan budaya yang banyak dipengaruhi oleh agama Islam. Provinsi yang pusat pemerintahannya berada di Banda Aceh ini telah melahirkan beberapa Pahlawan Nasional yang jasa dan namanya masih terus dikenang hingga saat ini, seperti : Cut Nyak Dhien, Cik Ditiro, Cut Nyak Meutia, dll.

 

Penting bagi kita untuk mengetahui beberapa hal yang berhubungan dengan Provinsi Aceh ini termasuk baju adat daerahnya. Berikut ini akan dijelaskan Baju adat daerah Aceh.
 

* Baju Adat Tradisional Pria Aceh :
- Pria memakai BAJE MEUKASAH atau baju jas leher tertutup. Ada sulaman keemasan menghiasi krah baju.
- Jas ini dilengkapi celana panjang yang disebut CEKAK MUSANG.
- Kain sarung ( IJA LAMGUGAP ) dilipat di pinggang berkesan gagah. Kain sarung ini terbuat dari sutra yang disongket.
- Sebilah rencong atau SIWAH berkepala emas / perak dan berhiaskan permata diselipkan di ikat pinggang.
- Bagian kepala ditutupi kopiah yang populer disebut MAKUTUP.
- Tutup kepala ini dililit oleh TANGKULOK atau TOMPOK dari emas. TANGKULOK ini terbuat dari kain tenunan. TOMPOK ialah hiasan bintang persegi 8, bertingkat, dan terbuat dari logam mulia.

 

* Baju Adat Wanita Aceh :
- Wanita mengenakan baju kurung berlengan panjang hingga sepinggul. Krah bajunya sangat unik menyerupai krah baju khas china.
- Celana cekak musang dan sarung ( IJA PINGGANG ) bercorak yang dilipat sampai lutut. Corak pada sarung ini bersulam emas.
- Perhiasan yang dipakai : kalung disebut KULA. Ada pula hiasan lain seperti : Gelang tangan, Gelang kaki, Anting, dan ikat pinggang (PENDING) berwarna emas.
- Bagian rembut ditarik ke atas membentuk sanggul kecil dengan hiasan kecil bercorak bunga.