Thursday, November 29, 2012

ASAL USUL MULA NAMA SUKU GAYO



GAYO adalah etnis yang mendiami dataran tinggi di Aceh dan merupakan daerah yang kaya akan hasil alam. sedikit saya jelaskan kenapa saat ini ada anggapan bahwa orang Gayo di sebut-sebut bukan orang Aceh padahal Gayo itu sendiri berada di Aceh? ini merupakan politik adudomba yang pernah di terapkan oleh penjajah belanda untuk memecah belah aceh sama halnya seperti yang di terapkan belanda terhadap rakyat Pidie yang juga di katakan bukan orang Aceh, dan ternyata politik tersebut berhasil melekat samapai masa penjajahan berakhir. namun tentu saja kita tidak mengharapkan pepecahan di Aceh yang kita cintai ini. Kembali kepada topik kita tentang bagaimana dengan asal mula penamaan kata "GAYO"? ada beberapa versi yang mengungkapkan tentang asal mula kata Gayo yang masing-masing versi memiliki alasan tersendiri dan tentu saja nantinya kita akan menilai bersama-sama manakah teory yang lebih sesuai/cocok dengan masyarakat gayo itu sendiri. Berikut adalah beberapa versi tersebut:

Ada sebuah tulisan dari seorang saudara dari etnis Aceh yang menyebutkan penamaan 'Gayo' itu berasal dari bahasa Aceh 'Kayo', yang artinya 'sudah takut'. Saudara ini mengambil kesimpulan seperti ini berdasarkan atas kemiripan semantik antara 'Gayo' dan 'Kayo'. Berdasarkan kemiripan pengucapan kata ini si saudara ini menyimpulkan kurang lebih bahwa alasan kenapa saat ini orang Gayo tinggal di gunung adalah karena perasaan ketakutan orang Gayo terhadap orang Aceh. Menurut ini mengatakan bahwa orang Gayo pada awalnya tinggal di pesisir lalu pindah ke pegunungan karena terdesak oleh kedatangan orang suku Aceh. Teori ini cukup masuk akal, karena memang biasanya kebudayaan yang lebih tua selalu terdesak oleh yang lebih baru.

Jadi sekilas memang tidak ada yang salah dengan teori ini. Cuma masalahnya, lari akibat ketakutan ini bukanlah satu-satunya teori yang bisa menjelaskan alasan kenapa orang tinggal di gunung. Ada beberapa alasan lain yang menyebabkan orang tinggal di gunung. Salah satunya adalah karena di gunung tanahnya lebih subur dan lebih cocok untuk bertani. Dalam masyarakat agraris yang tinggal di pulau subur dalam kebudayaan apapun di belahan dunia manapun, masyarakat agraris selalu lebih suka tinggal di tempat yang subur dan memiliki banyak persediaan air dan itu adalah gunung. Karena itu dalam berbagai kebudayaan agraris bagian yang paling maju peradabannya itu justru yang di wilayah pegunungan.
pola seperti ini juga bisa kita lihat berkembang di pulau-pulau subur di karibia, entah itu Kuba, Jamaika dan pulau- pulau subur lain sebelum kedatangan orang eropa. Pola yang lebih jelas lagi bisa kita lihat di Amerika Selatan. Peradaban paling maju di seluruh Amerika Selatan sebelum kedatangan orang eropa adalah peradaban orang-orang Quechua yang tinggal di Gunung, dalam peradaban ini kelompok yang paling terhormat dan paling tinggi kedudukannya dalam masyarakat itu tinggal di tempat yang paling tinggi, karena itulah Machu Picchu kota Spektakuler tempat tinggal para raja Quechua yang disebut INCA bersama keluarganya, dibangun di tempat tertinggi di daerah itu

Dengan adanya teori lain ini, sekarang kita bisa menguji kemungkinan- kemungkinannya berdasarkan karakter orang Gayo dan orang suku Aceh sendiri :

1. Apakah alasan orang Gayo tinggal di gunung karena ketakutan (Kayo) seperti halnya orang Tengger yang takut akan kedatangan islam sebagai mana di tulis oleh seorang saudara saya dari etnis Aceh?

2. Apakah orang Gayo tinggal di gunung adalah karena Gayo masyarakat agraris yang lebih suka tinggal di tempat subur seperti orang Bali, atau yang lebih ekstrim lagi?

3. Jangan-jangan Orang Gayo tinggal di Gunung justru karena merasa diri lebih tinggi dari orang suku Aceh seperti para Inca di Peru sana?

Kita uji kemungkinan pertama, orang Gayo tinggal di gunung karena ketakutan (Kayo) :

Teori ini banyak mengandung kejanggalan. Yang paling janggal dari teori ini adalah fakta bahwa pada masa lalu, Gunung itu justru jauh lebih menakutkan dibandingkan wilayah pesisir. Saat itu wilayah pegunungan di Aceh masih dipenuhi hutan Rimba. Pada masa itu Harimau Sumatra baik dalam jumlah maupun keganasan bisa dikatakan sedang 'lucu-lucunya'. Di zaman itu, Harimau Sumatra adalah raja rimba dalam arti yang sesungguhnya. jadi orang-orang yang pergi dan tinggal di gunung pada masa itu adalah orang-orang yang berani menghadapi resiko serangan harimau , Jadi sangatlah janggal jika ada teori yang mengatakan orang Gayo yang berani menantang Harimau dikatakan tinggal di gunung karena KAYO, alias karena ketakutan.

Keanehan lain dari teori ini adalah, tidak adanya satu hal atau event penting apapun yang membuat orang Gayo harus lari dari pesisir, tidak seperti orang Tengger yang lari karena tidak mau memeluk Islam, ketika Orang Aceh menjadi Islam, orang Gayo juga ikut memeluk Islam.
Jadi dari pembuktian ini sebenarnya orang Gayo tinggal di gunung karena memang gunung tempat terbaik untuk bertani, namun untuk tinggal di sana sangatlah beresiko sehingga hanya orang Aceh yang paling beranilah yang bisa tinggal di gunung, sebaliknya orang suku Aceh memilih tinggal dan bertani di pesisir yang kurang subur adalah karena orang suku Aceh tidak berani mengambil resiko tinggal di tempat subur tapi harus setiap hari berurusan dengan Harimau. Bahkan bisa jadi Orang Gayo tinggal di gunung karena merasa dirinya lebih tinggi dari suku Aceh seperti para Inca dalam masyarakat Quechua yang tinggal di pegunungan karena kemampuan dan kebudayaan mereka yang sudah tinggi.

Namun berani dan takut bukanlah suatu teory yang absah dalam perpindahan penduduk, bukan hanya begitu saja pengujian yang dapat kita lakukan mengapa orang gayo tinggal di gunung dan orang aceh tinggal di pesisir, adapun alasan lain kenapa orang suku Gayo tinggal di gunung adalah karena orang Gayo suka Bertani sehingga mereka mencari lahan subur di pegunungan dan suku aceh tinggal di pesisir juga di pengaruhi karena mereka lebih suka berdagang dan tempat yang baik untuk berdagang adalah di pesisir yang dekat dengan pelabuhan.

Berdasarkan fakta-fakta yang saya uraikan ini alasan yang paling mungkin kenapa orang suku Aceh memilih tinggal di pesisir adalah semata karena Orang suku Aceh memang tidak terlalu tertarik pada tempat yang subur. Perbedaan karakter yang saling mengisi inilah yang dulu membentuk Aceh sebagai Bangsa. Perbedaan karakter antara suku Gayo dan suku Aceh saling mengisi untuk membangun kejayaan Aceh Darussalam di masa lalu. Jadi kalau Objektifitas yang kita kedepankan, bukan Subjektifitas yang mengagungkan kehebatan suku sendiri, yang paling masuk akal dari ketiga teori itu adalah teori nomer dua.

"Orang Gayo tinggal di gunung adalah karena Gayo masyarakat agraris yang lebih suka tinggal di tempat subur".

Kebenaran teori ini juga didukung oleh fakta yang masih bisa kita saksikan sampai hari ini, yaitu adanya kebiasaan orang Gayo yang tetap berlangsung sampai hari ini yang senang menjual kebun yang sudah jadi dan sudah digarap bertahun-tahun kepada orang jawa lalu orang Gayo si mantan pemilik lahan itu sendiri memilih membuat kebun baru dengan membuka hutan untuk mendapatkan lahan yang lebih subur. Karena kebiasaan seperti inilah di Gayo muncul istilah ' Gayo tukang tebang, Jewe berempus wan belang, Acih mujegei simpang'. Artinya, Orang Gayo tukang tebang (membuka hutan), Orang Jawa berkebun di ladang (yang dulunya adalah Hutan yang dibuka oleh orang Gayo), orang suku Aceh menunggui Simpang (persimpangan jalan).

Dari ungkapan ini bisa kita lihat kalau orang Gayo memang lebih suka mencari tantangan baru daripada menggarap lahan yang tidak lagi subur, sementara orang Jawa sebaliknya lebih suka mencari aman dengan menggarap lahan yang sudah jadi, meskipun tidak terlalu subur dan orang Aceh daripada bertani lebih suka tinggal di persimpangan yang banyak dilewati orang, berdagang menyediakan kebutuhan orang-orang yang bertani itu, baik orang Gayo maupun Jawa.

Wednesday, November 28, 2012

TEUKU CUT ALI PEJUANG DARI ACEH SELATAN


Teuku Cut Ali dilahirkan di Desa Kuta Baro, Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, tahun 1795. Ayahnya, Teuku Cut Hajat, ibunya Nyak Puetro. Teuku Cut Ali, salah satu keturunan Raja Trumon.
Kakeknya, Teuku Nyak Dhien, Raja keenam yang pernah memimpi Kerajaan Trumon.Trumon, merupakan salah satu daerah termasyur dan makmur di Wilayah Aceh Selatan. Itu disebabkan, karena Kerajaan Trumon, merupakan sembilan dari kerajaan Aceh yang memiliki Cap Sikureng (Cap Sembilan). Trumon, mempunyai mata uang sendiri dan tidak saja diakui di Aceh, tapi juga dunia.

Sejak kanak-kanak, Teuku Cut Ali, sudah memiliki bakat seorang pejuang. Itu, terlihat dari sikapnya yang tegas dan setia kepada teman. Teuku Raja Angkasah, merupakan teman akrab Teuku Cut Ali, mereka sama-sama berjuang melawan Belanda di medan perang. Saat usia 18 tahun, Teuku Cut Ali, sudah ikut berperang melawan Belanda.

Beranjak usia 20 tahun, Teuku Cut Ali, dipercayakan menjadi Panglima Sagoe dan sejumlah pejuang Aceh berada di bawah pimpinannya. Dipilihnya Teuku Cut Ali sebagai Panglima Sagoe, selain memiliki kemampuan dalam memimpin perang, dia juga menguasai ilmu bela diri. Itulah, yang membuat para pejuang Aceh saat itu, sepakat untuk menunjuk Teuku Cut Ali sebagai Panglima Sagoe.

Pada masa penjajahan Belanda, Bakongan merupakan pusat pemerintahan militer Belanda di Wilayah Selatan. Ini disebabkan, Bakongan terdapat satu tangsi atau Asrama Militer Belanda. Asrama ini dibangun di atas tanah dua hektar, tepatnya di pinggir Kota Bakongan atau di Kantor Koramil dan Polsek Bakongan sekarang. Berdekatan dengan pantai.

Dipilihnya Bakongan sebagai pusat militer Belanda, bertujuan untuk memudahkan menumpas dan melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh di Bakongan pada perang tahun 1925–1927. Perlawanan rakyat itu dibawah pimpinan Teuku Cut Ali dan Teuku Raja Angkasah. Dalam berperang melawan Belanda, gerilya adalah taktik dan strategi yang dilakukan Teuku Cut Ali dalam menyerang dan menghadang musuh. Dia dan pejuang lainnya, menyerang Belanda pada malam hari. Setelah menyerang, dan pihak musuh jatuh korban, Cut Ali dan prajuritnya menyingkir ketempat lain, sehingga membuat Belanda kewalahan untuk mencari jejak Cut Ali dan pengikutnya.

Ketika perang di Seunebok Keuranji pecah, salah satu desa di Kecamatan Bakongan Kabupaten Aceh Selatan, banyak pasukan Belanda yang menjadi korban. Teuku Cut Ali, mengalami luka parah, akibat terkena peluru pasukan Belanda. Namun, Cut Ali dan pasukannya berhasil menyingkir ke dalam hutan untuk menghindari kejaran Belanda.

Pada tahun 1826, perang di Gunong Kapoe (Gunung Kapur), kemudian berlanjut ke Desa Buket Gadeng, Kecamatan Bakongan, terjadi peperangan yang sangat hebat, antara pihak pejuang dengan Belanda. Dalam perang itu, Teuku Raja Angkasah, sahabat Teuku Cut Ali, syahid di tangan Letnan Molenaar, komandan pasukan Belanda dalam perang tersebut.

Syahidnya Teuku Raja Angkasah, tidak membuat semangat Teuku Cut Ali dan pasukannya patah. Dalam perang di Terbangan, salah satu desa di Kecamatan Pasie Raja Kabupaten Aceh Selatan, Letnan Molenaar, komandan perang pasukan Belanda, tewas di tangan Teuku Cut Ali. Kemenangan demi kemenangan diraih Teuku Cut Ali dan pejuang lainnya sejak tahun 1826. Banyak jatuh korban di pihak Belanda. Kondisi ini, jelas membuat Belanda semakin gerah dan dendam terhadap Cut Ali. Dia, tidak hanya memimpin perang di wilayah Bakongan, tapi sampai ke Wilayah Kluet, Kabupaten Aceh Selatan.

Pada Juni 1826, Teuku Cut Ali dan pejuang muslimin lainnya, kembali melancarkan serangan terhadap pasukan Belanda, di dekat Gampong Ie Mirah, Kecamatan Pasie Raja. Dalam penghadangan ini, satu marsose Belanda tewas. Di pihak pejuang Aceh syahid sembilan orang. Tapi, Cut Ali dan pasukannya, terus gencar melakukan serangan terhadap Belanda. Tanggal 26 Mei 1827, Teuku Cut Ali bergerilya ke wilayah Terbangan, Kecamatan Pasie Raja, untuk menyusun strategi dan melakukan penyerangan serta penghadangan terhadap pasukan Belanda. Namun, jejaknya diketahui Belanda yang saat itu dipimpin Kapten Paris atau dikenal dengan julukan Singa Afrika. Kapten Paris sengaja dikirim khusus oleh Belanda untuk menumpas dan melumpuhkan para pejuang Aceh yang di pimpin Teuku Cut Ali. Dengan jumlah pasukan yang banyak, Kapten Paris menyusun strategi untuk menghadang dan melumpuhkan Teuku Cut Ali dan pejuang lainnya. Maka, terjadilah perang yang sangat dahsyat antara pejuang Aceh dibawah pimpinan Teuku Cut Ali dan Belanda di bawah komando Kapten Paris.

Dalam perang ini, Teuku Cut Ali, didampingi Tgk Banta Saidi, atau lebih dikenal dengan Raja Lelo.Dia adalah panglima perang di Wilayah Kluet. Korban pun berjatuhan, baik di pihak pejuang maupun Belanda. Dan, akhirnya, Teuku Cut Ali syahid di tangan Kapten Paris. Melihat Cut Ali syahid, Raja Lelo menyerang balik Kapten Paris. Dengan kehebatan ilmu dalam yang dimilikinya, Raja Lelo berhasil melumpuhkan Kapten Paris dengan cara menyeruduk kemaluannya hingga tewas.

Dalam perang di Aceh Selatan ini, dua komandan perang pasukan Belanda, Letnan Monelaar dan Kapten Paris tewas di tangan Teuku Cut Ali dan Raja Lelo. Jasad Teuku Cut Ali, akhirnya di bawa ke Desa Suaq Bakong, Kecamatan Kluet Selatan, Kabupaten Aceh Selatan, dan dikuburkan di sana. Raja Lelo dan pejuang muslimin lainnya, terus melanjutkan perjuangan, menghadapi pasukan Belanda.

ASAL USUL JULUKAN KOTA JUANG ( BIREUEN ACEH )

 
Julukan Kota Juang yang ditetapkan untuk Kabupaten Bireuen menarik untuk ditelusuri asal usulnya. Terlebih masih banyak orang yang tidak mengetahuinya. Bahkan mereka yang mengaku orang Bireuen sekali pun.

Tgk Sarong Sulaiman, seorang pelaku sejarah dan pejuang yang sekarang berusia 110 tahun, yang berdomisili di Desa Keude Pucok Aleu Rheng, Peudada Bireuen, saat ditemui Narit di rumahnya, kelihatan masih sehat dan ingatannya pun masih kuat.

Menurut Kepala Badan Statistik (BPS) Aceh, Syeh Suhaimi kepada Narit, Tgk Sarong merupakan salah seorang pelaku sejarah yang masih hidup. “Beliau merupakan seorang pejuang kemerdekaan negara ini, bahkan terlibat langsung dalam masa pergerakan melawan penjajahan Belanda dulu,” kata Syeh Suheimi saat melakukan sensus penduduk di Bireuen beberapa bulan lalu.
 
Adapun mengenai Bireuen dijuluki sebagai Kota Juang, menurut keterangan para orang tua-tua di Bireuen, Bireuen pernah menjadi ibukota RI yang ketiga selama seminggu, setelah Yogyakarta jatuh ke tangan penjajah dalam agresi Belanda. “Meuligoe Bupati Bireuen yang sekarang ini pernah menjadi tempat pengasingan presiden Soekarno,” kata almarhum purnawirawan Letnan Yusuf Ahmad (80), atau yang lebih dikenal dengan panggilan Letnan Yusuf Tank, yang berdomisili di Desa Juli Keude Dua, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Narit berkunjung ke kediamannya sebelum almarhum dipanggil Yang Maha Kuasa.

Bahkan katanya, peran dan pengorbanan rakyat Aceh atau Bireuen khususnya, dalam mempertahankan kemerdekaan Republik ini, begitu besar jasanya. “Perjalanan sejarah telah membuktikannya. Di zaman Revolusi 1945, kemiliteran Aceh pernah dipusatkan di Bireuen,” paparnya bersemangat.

Tuesday, November 27, 2012

MAKAM SULTAN ISKANDAR MUDA



Zaman keemasan kerajaan Aceh dulu terjadi pada Pemerintahan Sultan Iskandar Muda, beliau adalah keturunan dari dua dinasti yaitu Dinasti Mahkota Alam dan Dinsti Darul-Kamal, ibunya Putri Raja Indra Bangsa/ Paduka Syah Alam dan bapak bernama Mansur Syah, tanggal kelahiran Sulatan Iskandar Muda belum di ketahui secara pasti tapi menurut hikayat ,Putri Raja Indra Bangsa memerintah pada tahun 1579 sampai 1586 hamil beberapa waktu setelah menikah, dan juga cerita dari Best pada tahun 1613 umur sultan 32 tahun berarti dapat di kira-kira sultan lahir pada tahun 1583, ada juga versi di makam pusara beliu tertulis tahun kelahiran 1590, Sultan Iskandar Muda memerintah tahun 1607-1636 .

SEJARAH SUKU JAMEE DI ACEH



 

Suku Aneuk Jamee adalah sebuah suku yang tersebar di sepanjang pesisir barat Nanggroe Aceh Darussalam. Dari segi bahasa, Aneuk Jamee diperkirakan masih merupakan dialek dari bahasa Minangkabau dan menurut cerita, mereka memang berasal dari Ranah Minang. Orang Aceh menyebut mereka sebagai Aneuk Jamee yang berarti tamu atau pendatang. bahasa yang digunakan bukan bahasa padang lagi tapi Bahasa Jamee. mirip tapi tidak persis sama..tapi kalau di Daerah Kluet selatan, Tapaktuan, Blangpidie dan Susoh hampir semua masyarakat bisa berbahasa jamee dan Aceh. bahkan terkadang kadang berkomunikasi sudah bercampur dalam penggunaan bahasanya dengan bahasa Aceh. Umumnya berkonsentrasi di kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya dan sebagian kecil di sekitar Meulaboh, Aceh Barat. Namun sebagian besar diantaranya berdiam di sepanjang pesisir selatan Aceh, meliputi Aceh Selatan yakni Kecamatan Kluet Selatan hingga ke Aceh Barat Daya.

Aneuk Jamee di Aceh Selatan menempati di daerah-daerah pesisir yang dekat dengan laut. mungkin jalur perpindahan nenek moyang dulu adalah dari jalur ini. dulu hidup dari berkebun dan melaut. seiring perkembangan zaman, seiring dengan kemajemukan, hidup terus berkembang. ada pengusaha, pedagang, pejabat, PNS, dan lain sebagainya. semuanya hidup dalam porsinya masing-masing. Komunitas Aneuk Jamee tidak terkonsentrasi pada tempat tertentu, melainkan menyebar. misalnya dalam suatu kecamatan tidak semuanya disitu hanya oleh suku aneuk jamee saja. bercampur dengan aceh. paling hanya desa saja membedakan komunitasnya. namun di desa itu dapat juga kita jumpai orang berbicara dual bahasa, Aceh dan jamee/minang. mungkin karena ada hubungan famili yang berbahasa aceh di desa lain. kecuali kecamatan tapaktuan, di kecamatan kota ini, aslinya memang semuanya dari aneuk jamee, kecuali pendatang yang bekerja dan menetap di kota ini dari kecamatan lain.

Dari 18 kecamatan di Aceh Selatan, banyak diantaranya tidak ada komunitas aneuk jamee, Dominan suku aneuk jamee ada di beberapa kecamatan :
1. Blang pidie, (plural)
2. Susoh (plural)
3. tangan-tangan (plural)
4. Labuhan Haji (sangat Dominan Jamee)
5. Sama dua (sangat dominan Jamee)
6. Tapaktuan (100% Jamee aslinya, kecuali pendatang, pejabat dan pns yang menetap di kota ini)
7. Kandang (nama wilayah yang terdiri 1 Mukim), berada di kecamatan Kluet Selatan.

Aneuk jamee hanya terpusat di mukim kandang, berada di wilayah pantai, selebihnya dari kecamatan ini adalah Aceh dan Kluet ke arah dekat dengan gunung. yang paling unik adalah di kecamatan ini, jika anda pergi dihari pekan, Uroe Pekan, atau hari pakan, dan sejenisnnya di daerah ini, anda kemungkinan akan menemukan komunikasi di pasar dengan tiga bahasa, Aceh, Jamee, dan Kluet (kluwat). mereka menggunakan bahasanya masing-masing dan mengerti apa yang diucapkan oleh lawan bicara. “bahasa bukanlah halangan untuk hidup bersama”. Inilah kekayaan budaya daerah tanah rencong ini. Di wilayah kandang ini juga bersemayam dengan tenang pahlawan Aceh, T. Cut Ali, tepatnya di pinggiran hilir Krueng Kluet. berada di kelurahan Suak Bakong, ibukota kecamatan Kluet Selatan.

Sunday, November 25, 2012

AWAL KEMUNDURAN ACEH PADA MASA LALU YANG TIDAK DETAIL MELIHAT LAWAN ATAU KAWAN
















Tiga sosok pemimpin Aceh yang terlalu jujur dan ikhlas kepada musuh. Akhirnya mengalami nasib tragis. Inilah hasil ujian sejarah Aceh.
 
1. Tgk. Thjik di Tiro Muhammad Saman.
 

Terlalu jujur dan ikhlas kepada serdadu Belanda yang sudah terkurung dalam kèm concestration linie (12 tahun), yang mengajak supaya serdadu Belanda menyerah secara baik-baik, masuk Islam tanpa paksaan dan boleh tinggal di Aceh. Akhirnya intel Belanda (perempuan Aceh) berhasil membubuh tuba (racun) ke dalam makanan kesukaan yang menyebabkan Tgk. Thjik di Tiro meninggal dunia 1 Januari 1891.
 

2. Tuanku Muhammad Daudsyah, pemangku Sultan Aceh.
 

Terlalu jujur dan ikhlas kepada petinggi militer Belanda (Van Heuzt) yang berjanji tidak akan menghukum buang ke luar Aceh, asal mau menyerah tahun 1903. Akhirnya tahun 1908, dihukum buang ke Maluku kemudian ke Betawi sampai meninggal dunia tahun 1939
 

3. Tgk. Daud Beureu-éh.
 

Terlalu jujur dan ikhlas kepada Sukarno yang berjanji bahwa dasar negara Indonesia adalah Islam. Yang terjadi justru lain, tahun 1945. Tahun 1957 kena tipu lagi lewat Ikrar Lamtéh. Tahun 1962, kena tipu lagi dengan cèk kosong Daerah Istimewa Aceh; sampai akhirnya diculik dan dijebloskan dalam tahanan rahasia di Jakarta oleh rezim Suharto. Mana Tipu Aceh, malah kena tipu. ( Kuliah: Kajian Sejarah Aceh Kontemporer ).

Saturday, November 24, 2012

ADAT ACEH SEMASA SULTAN ISKANDAR MUDA

Adat bersendi syara’, syara’ bersendi adat adalah sebuah falsafah kehidupan dan menjadi simbol yang sangat dikenal pada era kejayaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636 M). Sebenarnya ungkapan tersebut menunjukkan perilaku kehidupan masyarakat yang mengacu pada tatanan hukum adat dan ajaran agama Islam. Keduanya tidak boleh dipisahkan karena begitu melekat dalam jiwa nasionalis orang Aceh.

Adat Aceh terus dilakoni oleh masyarakat dari generasi ke generasi berikutnya untuk membuktikan kepada bangsa lain bahwa adat Aceh memiliki akar dan struktur yang kuat. Bentuk kultural adat Aceh dimodifikasi sesuai zamannya tanpa mengubah nilai aslinya dan bentuknya sangat fleksibel. Paradigma sosio-kultural menunjukkan bahwa masyarakat Aceh berpegang teguh serta tunduk pada adat-istiadat dan nilai-nilai Islam. Meskipun adat Aceh tidak tertulis resmi namun masyarakat Aceh meyakini
bahwa sistematika adat Aceh adalah kenyataan hidup yang harus dilaksanakan. Tentu saja mereka tidak ingin dikucilkan dalam pergaulan masyarakat sebagai akibat dari tidak memahami adat-istiadat dengan baik. Karena kedudukan adat-istiadat pada masa itu menjadi semacam sebuah kitab peraturan sakral bernilai religius yang wajib dipatuhi oleh masyarakat Aceh. Maka tanpa adanya adat-istiadat sebuah kaum menjadi rentan ibarat sebuah negeri yang tidak memiliki benteng kokoh ketika di serang oleh negeri lain.

PAHLAWAN TJOET NYAK MEUTIA ( ACEH )


Tjoet Nyak Meutia (Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, 1870 - Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910) adalah pahlawan nasional Indonesia dari daerah Aceh. Ia dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh. Ia menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964.

Awalnya Tjoet Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Tjik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Tjik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.

Tjoet Meutia kemudian menikah dengan Pang Nagroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.

Tjoet Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukkannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur.

Friday, November 23, 2012

RENCONG TERBUAT DARI EMAS ( ACEH )

Menyebut senjata rakyat Aceh, selain meriam dan senjata api, yang paling terkenal adalah rencong. Bahkan, salah satu gelar tanah Aceh disebut juga sebagai “Tanah Rencong”. Rencong atau ada pula yang menyebutnya reuncong, merupakan senjata tradisional masyarakat Aceh. Rencong Aceh memiliki bentuk seperli huruf [L] atau lebih tepat seperti tulisan kaligrafi bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau atau pedang).

Menurut sejarahnya, rencong memiliki tingkatan. Pertama, rencong yang digunakan oleh raja atau sultan. Rencong ini biasanya terbuat dari gading (sarung) dan emas murni (bagian belatinya). Kedua, rencong-rencong yang sarungnya biasa terbuat dari tanduk kerbau atau kayu, sedangkan belatinya dari kuningan atau besi putih. Secara umum, ada empat macam rencong yang menjadi senjata andalan masyarakat Aceh.

- Rincong Pudoi :
Dalam masyarakat Aceh istilah pudoi berarti belum sempurna alias masih ada kekurangan. kekurangannya dapat dilihat pada bentuk gagang rencong tersebut.

- Rincong Meupucok :
Keunikan dari Rincong ini memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran dari gading atau emas. Bagian pangkal gagang dihiasi emas bermotif pucok rebung/tumpal yang diberi permata ditampuk gagang,keseluruhan panjang rencong ini lebih kurang 30 cm.bilah terbuat dari besi putih.sarungnya dibuat dari gading serta diberi ikatan dengan emas.

-Rincong puntong
Keunikan dari Rincong puntong pada Hulu Puntung, dengan belati yang ditempa dengan loga, kepala Rencong dari tanduk kerbau dan sarung dari kayu.

- Rincong Meukure:
Rincong ini mempunyai perbedaan dengan yang lain pada mata rincong yang diberi hiasan tertentu seperti gambar bunga,ular,lipan dan sejenisnya.

Seiring perjalanan waktu senjata Rencong semenjak Aceh bergabung dengan Indonesia sampai sekarang perlahan-perlahan pusaka ini berubah fungsi hanya menjadi barang suvernir atau cenderamata dan pelengkap pakaian adat Aceh pengantin pria.

Thursday, November 22, 2012

SERUNE KALEE

 

Serune Kalee merupakan alat musik tradisional khas Aceh yang telah lama berkembang dan di mainkan oleh masyarakat Aceh. 
Alat musik ini sangat populer di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat. Biasanya Serune Kalee dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar pembuatan Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga.

Bentuk dasar dari Serune Kalee hampir menyerupai seruling bambu. Warna dasarnya yang hitam menjadi kan Serune Kalee lebih indah dan memiliki nilai seni tersendiri.

Serune Kalee berpasangan dengan geundrang dan Rapai. ketiga alat musik tersebut merupakan suatu perangkat alat musik warisan adat dan Budaya Aceh dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi /mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.

 
Serune Kalee merupakan salah satu alat musik yang akan selalu hadir bilamana event kebudayaan aceh digelar.