Saturday, August 3, 2013

PERJANJIAN MOU HELSINKI TERJEMAHAN RESMI DALAM BAHASA INDONESIA

Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka

Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua.

Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.

Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26 Desember 2005 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan.

Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya.

Nota Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip- prinsip yang akan memandu proses transformasi.

Untuk maksud ini Pemerintah RI dan GAM menyepakati hal-hal berikut:

1. Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh

1.1. Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh

1.1.1. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.

1.1.2. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

a). Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.

b). Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.

c). Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.

d). Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

1.1.3. Nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh
legislatif Aceh setelah pemilihan umum yang akan datang.

1.1.4. Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.

1.1.5. Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne.

1.1.6. Kanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh.

1.1.7. Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.

1.2. Partisipasi Politik

1.2.1 Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.

1.2.2 Dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya.

1.2.3 Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggarakan di bawah undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh untuk memilih Kepala Pemerintah Aceh dan pejabat terpilih lainnya pada bulan April 2006 serta untuk memilih anggota legislatif Aceh pada tahun 2009.

1.2.4 Sampai tahun 2009 legislatif (DPRD) Aceh tidak berkewenangan untuk mengesahkan peraturan perundang-undangan apapun tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

1.2.5 Semua penduduk Aceh akan diberikan kartu identitas baru yang biasa sebelum pemilihan pada bulan April 2006.

1.2.6 Partisipasi penuh semua orang Aceh dalam pemilihan lokal dan nasional, akan dijamin sesuai dengan Konstitusi Republik Indonesia.

1.2.7 Pemantau dari luar akan diundang untuk memantau pemilihan di Aceh. Pemilihan lokal bisa diselenggarakan dengan bantuan teknis dari luar.

1.2.8 Akan adanya transparansi penuh dalam dana kampanye.

1.3. Ekonomi

1.3.1. Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia).

1.3.2. Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.

1.3.3. Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh.

1.3.4. Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.

1.3.5. Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh.

1.3.6. Aceh akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya.

1.3.7. Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara- negara asing, melalui laut dan udara.

1.3.8. Pemerintah RI bertekad untuk menciptakan transparansi dalam pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara Pemerintah Pusat dan Aceh dengan menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas kegiatan tersebut dan menyampaikan hasil-hasilnya kepada Kepala Pemerintah Aceh.

1.3.9. GAM akan mencalonkan wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh pada semua tingkatan dalam komisi yang dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi pasca-Tsunami (BRR).

1.4. Peraturan Perundang-undangan

1.4.1. Pemisahan kekuasaan antara badan-badan legislatif, eksekutif dan
yudikatif akan diakui.

1.4.2. Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

1.4.3. Suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi, dibentuk di Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia.

1.4.4. Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi harus mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala
Pemerintahan Aceh, sesuai dengan standar nasional yang berlaku.

1.4.5. Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh.

2. Hak Asasi Manusia

2.1. Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak- hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

2.2. Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh.

2.3. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.

3. Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat

3.1. Amnesti

3.1.1. Pemerintah RI, sesuai dengan prosedur konstitusional, akan memberikan amnesti kepada semua orang yang telah terlibat dalam kegiatan GAM sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

3.1.2. Narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik akan dibebaskan tanpa syarat secepat mungkin dan selambat-lambatnya 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

3.1.3. Kepala Misi Monitoring akan memutuskan kasus-kasus yang dipersengketakan sesuai dengan nasihat dari penasihat hukum Misi Monitoring.

3.1.4. Penggunaan senjata oleh personil GAM setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman dan hal itu akan membatalkan yang bersangkutan memperoleh amnesti.

3.2. Reintegrasi kedalam masyarakat

3.2.1. Sebagai warga negara Republik Indonesia, semua orang yang telah diberikan amnesti atau dibebaskan dari Lembaga Permasyarakatan atau tempat penahanan lainnya akan memperoleh semua hak-hak politik, ekonomi dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam proses politik baik di Aceh maupun pada tingkat nasional.

3.2.2. Orang-orang yang selama konflik telah menanggalkan kewarganegaraan Republik Indonesia berhak untuk mendapatkan kembali kewarganegaraan mereka.

3.2.3. Pemerintah RI dan Pemerintah Aceh akan melakukan upaya untuk membantu orang-orang yang terlibat dalam kegiatan GAM guna memperlancar reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Langkah-langkah tersebut mencakup pemberian kemudahan ekonomi bagi mantan pasukan GAM, tahanan politik yang telah memperoleh amnesti dan masyarakat yang terkena dampak. Suatu Dana Reintegrasi di bawah kewenangan Pemerintah Aceh akan dibentuk.

3.2.4. Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh.

3.2.5. Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak. Pemerintah Aceh akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut:

a). Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.

b). Semua tahanan politik yang memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.

c. Semua rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.

3.2.6. Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan.

3.2.7. Pasukan GAM akan memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan sebagai polisi dan tentara organik di Aceh tanpa diskriminasi dan sesuai dengan standar nasional.

4. Pengaturan Keamanan

4.1. Semua aksi kekerasan antara pihak-pihak akan berakhir selambat- lambatnya pada saat penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

4.2. GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

4.3. GAM melakukan decommissioning semua senjata, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh para anggota dalam kegiatan GAM dengan bantuan Misi Monitoring Aceh (AMM). GAM sepakat untuk menyerahkan 840 buah senjata.

4.4. Penyerahan persenjataan GAM akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, yang akan dilaksanakan dalam empat tahap, dan diselesaikan pada tanggal 31 Desember 2005.

4.5. Pemerintah RI akan menarik semua elemen tentara dan polisi non-organik dari Aceh.

4.6. Relokasi tentara dan polisi non-organik akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, dan akan dilaksanakan dalam empat tahap sejalan dengan penyerahan senjata GAM, segera setelah setiap tahap diperiksa oleh AMM, dan selesai pada tanggal 31 Desember 2005.

4.7. Jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang.

4.8. Tidak akan ada pergerakan besar-besaran tentara setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Semua pergerakan lebih dari sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya kepada Kepala Misi Monitoring.

4.9. Pemerintah RI melakukan pengumpulan semua senjata illegal, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh setiap kelompok dan pihak-pihak illegal manapun.

4.10. Polisi organik akan bertanggung jawab untuk menjaga hukum dan ketertiban di Aceh.

4.11. Tentara akan bertanggung jawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh.

4.12. Anggota polisi organik Aceh akan memperoleh pelatihan khusus di Aceh dan di luar negeri dengan penekanan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia.

5. Pembentukan Misi Monitoring Aceh

5.1. Misi Monitoring Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan negara- negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.

5.2. Tugas AMM adalah untuk:

a). Memantau demobilisasi GAM dan decomissioning persenjataannya.
b). Memantau relokasi tentara dan polisi non-organik.
c). Memantau reintegrasi anggota-anggota GAM yang aktif ke dalam masyarakat.
d). Memantau situasi hak asasi manusia dan memberikan bantuan dalam bidang ini.
e). Memantau proses perubahan peraturan perundang-undangan.
f). Memutuskan kasus-kasus amnesti yang disengketakan.
g). Menyelidiki dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman ini.
h). Membentuk dan memelihara hubungan dan kerjasama yang baik dengan para pihak.

5.3. Status Persetujuan Misi (SoMA) antara Pemerintah RI dan Uni Eropa akan ditandatangani setelah Nota Kesepahaman ini ditandatangani. SoMA mendefinisikan status, hak-hak istimewa, dan kekebalan AMM dan anggota-anggotanya. Negara-negara ASEAN yang ikut serta yang telah diundang oleh Pemerintah RI akan menegaskan secara tertulis penerimaan dan kepatuhan mereka terhadap SoMA dimaksud.

5.4. Pemerintah RI akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, Pemerintah RI akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dan menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM.

5.5. GAM akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, GAM akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM.

5.6. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi kerja yang aman, terjaga dan stabil bagi AMM dan menyatakan kerjasamanya secara penuh dengan AMM.

5.7. Tim monitoring memiliki kebebasan bergerak yang tidak terbatas di Aceh. Hanya tugas-tugas yang tercantum dalam rumusan Nota Kesepahaman ini yang akan diterima oleh AMM. Para pihak tidak memiliki veto atas tindakan atau kontrol terhadap kegiatan operasional AMM.

5.8. Pemerintah RI bertanggung jawab atas keamanan semua personil AMM di Indonesia. Personil AMM tidak membawa senjata. Bagaimanapun juga Kepala Misi Monitoring dapat memutuskan perkecualian bahwa patroli tidak akan didampingi oleh pasukan bersenjata Pemerintah RI. Dalam hal ini, Pemerintah RI akan diberitahukan dan Pemerintah RI tidak akan bertanggung jawab atas keamanan patroli tersebut.

5.9. Pemerintah RI akan menyediakan tempat-tempat pengumpulan senjata dan mendukung tim-tim pengumpul senjata bergerak (mobile team) bekerjasama dengan GAM.

5.10. Penghancuran segera akan dilaksanakan setelah pengumpulan senjata
dan amunisi. Proses ini akan sepenuhnya didokumentasikan dan dipublikasikan sebagaimana mestinya.

5.11. AMM melapor kepada Kepala Misi Monitoring yang akan memberikan laporan rutin kepada para pihak dan kepada pihak lainnya sebagaimana diperlukan, maupun kepada orang atau kantor yang ditunjuk di Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta.

5.12. Setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini setiap pihak akan menunjuk seorang wakil senior untuk menangani semua hal ihwal yang terkait dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini dengan Kepala Misi Monitoring.

5.13. Para pihak bersepakat atas suatu pemberitahuan prosedur tanggungjawab kepada AMM, termasuk isu-isu militer dan rekonstruksi.

5.14. Pemerintah RI akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan berkaitan dengan pelayanan medis darurat dan perawatan di rumah sakit bagi personil AMM.

5.15. Untuk mendukung transparansi, Pemerintah RI akan mengizinkan akses penuh bagi perwakilan media nasional dan internasional ke Aceh.

6. Penyelesaian perselisihan

6.1. Jika terjadi perselisihan berkaitan dengan pelaksanaan Nota
Kesepahaman ini, maka akan segera diselesaikan dengan cara berikut:

a). Sebagai suatu aturan, perselisihan yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman ini akan diselesaikan oleh Kepala Misi Monitoring, melalui musyawarah dengan para pihak dan semua pihak memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.

b). Jika Kepala Misi Monitoring menyimpulkan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan cara sebagaimana tersebut di atas, maka perselisihan akan dibahas bersama oleh Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dari setiap pihak. Selanjutnya, Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.

c). Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak.

***

Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman ini.

***

Ditandatangani dalam rangkap tiga di Helsinki, Finlandia, pada hari Senin, tanggal 15 Agustus 2005.

A.n. Pemerintah Republik Indonesia,
Hamid Awaluddin
Menteri Hukum dan HAM

A.n. Gerakan Aceh Merdeka,
Malik Mahmud
Pimpinan

Disaksikan oleh,

Martti Ahtisaari
Mantan Presiden Finlandia
Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative
Fasilitator proses negosiasi

Saturday, July 6, 2013

CINTA SEGI TIGA ANTARA INDONESIA, ACEH DAN MALAYSIA.

Cinta Segi tiga antara Indonesia, Aceh dan Malaysia.

Menarik Untuk dibaca kisah antara Aceh, Indonesia dan Malaysia. Aceh Laksana seorang gadis rupawan yang menjadi incaran banyak pemuda sejak dahulu kala. Walaupun telah lama dipinang oleh seorang ‘lelaki ‘yang bernama Indonesia. Namun jalinan kasih indah yang pernah terjalin dengan Malaysia, ternyata tidak mudah untuk dilupakan hingga kini.

Umpama tersebut tidaklah berlebihan untuk di sanding dengan kondisi Provinsi Aceh hari ini. Panorama alam yang indah, adat istiadat dan budaya islam yang kental serta Sumber Daya Alam yang berlimpah ruah telah menyebabkan daerah ini menjadi rebutan dari dahulu kala.

Dalam rentetan sejarah, Hanya Malaya (Malaysia-red) yang sempat memiliki kisah kasih yang indah dengan Aceh. Sedangkan saat Aceh ’dekat’ dengan ‘pria berambut pirang’ (Belanda-red) antara 1873 hingga 1904, dan ’pria bermata sipit’ (Jepang-red) sekitar tahun 1942, hingga dipinang seorang Pria bernama Indonesia, Aceh justru banyak menderita.

Cinta Aceh antara Malaysia, awalnya diperkirakan mulai pada abad ke-16 setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Sebenarnya, bagi orang Aceh, negeri Melaka (Malaysia-red) tidaklah asing. Kerajaan Aceh Darussalam bahkan pernah terlibat perang dengan Portugis selama 130 tahun (1511-1641) hanya untuk membebaskan daerah tersebut dari jajahan Portugis.

Menurut sejarah Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dengan armada Cakra Donya-nya berhasil membebaskan Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu dari penjajahan Portugis dan menjadi bagian dari kerajaan Aceh. Laksamana Malem Dagang berhasil mempersatukan wilayah Sumatra dan Semenanjung tanah Melayu.

Dari peristiwa tersebutlah kemudian tercipta hubungan harmonis antara Aceh dengan Malaysia, baik pertukaran etnis hingga budaya. Hingga saat ini, ada banyak etnis melayu yang tersebar di Aceh, demikian juga sebaliknya. Hubungan ini sedikit rengang ketika Belanda dengan politik adu dombanya menancapkan ’kuku’ di Aceh. Namun hal ini tidak mampu memudarkan cinta kasih Aceh dengan Malaysia.

Sedangkan kisah Aceh dengan Belanda terjalin Pada tanggal 26 Maret 1873. Saat itu, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Sekitar 8 April 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Jendral Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para Perwira.

Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut. Dengan kata lain, dengan rentan konflik yang lama tersebut, tidak ada masyarakat Aceh yang hidup saat itu, mengaku senang atas kehadiran ’pria berambut pirang’ tersebut.

Terakhir, Aceh juga sempat berkenalan dengan ’pria sipit’ dari Jepang. Menurut berbagai sumber, pada tanggal 12 maret 1942, pasukan tentara Jepang mendarat pertama kali di pantai Kuala Bugak Kecamatan Peureulak Kabupaten Aceh Timur, selanjutnya menyebar seluruh penjuru Aceh Timur dan daerah sekitarnya.
Masa jalinan Cinta dengan Jepang walaupun tidak berlangsung lama namun membawa akibat penderitaan yang cukup memprihatinkan, seluruh rakyat hidup dalam kondisi kurang pangan dan sandang disertai dengan perlakuan kasar dari bala tentara Jepang terhadap rakyat yang tidak manusiawi, akibatnya timbullah perlawanan/pemberontakan rakyat.

Setelah Hirosima dan Nagasaki (kota di Jepang-red) di bom atom oleh pasukan sekutu pimpinan Amerika pada tanggal 10 Agustus 1945, Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat. Kemudian, setahap demi setahap mereka meninggalkan Aceh. Masa-masa inilah Aceh menjalin cinta kasih dengan Indonesia, hingga akhirnya menerima lamaran dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tetapi, diluar pembahasan tersebut, menurut pandangan penulis, Indonesia masih seringkan kali ’cemburu’ ketika membahas persoalan Aceh dan Malaysia. Pasalnya, dalam sejumlah kasus, seperti ide meng-gonyang-ganyang Malaysia yang dikobarkan Presiden Sukarno dan isu ’mencuri’ budaya yang sempat terjadi di tanah air, justru ditanggapi dingin oleh rakyat Aceh. Hal inilah yang perlu dibahas secara lebih detail sehingga tahu akal persoalan yang terjadi.

Faktor kedekatan sejarah yang panjang dinilai telah menyebabkan mayoritas masyarakat Aceh mencintai negara jiran Malaysia, dan begitu juga sebaliknya. Sikap romantis antara masyarakat Aceh dan masyarakat Malaysia dianggap juga tidak pernah luntur walaupun pemerintah dari kedua negara ini sedang terlibat ‘perang dingin’.

Hal ini terungkap dalam seminar sehari sejarah antar bangsa dengan tema hubungan Aceh dan Keudah dan lintasan sejarah yang dilaksanakan oleh Program Studi (Prodi) Sejarah FKIP Unsyiah, di Ruang Auditórium setempat, beberapa waktu lalu.
Seminar ini dikuti oleh ratusan mahasiswa dari berbagai kampus. Hadir juga pemateri dalam seminar tersebut adalah Prof. Madya dr. Mohd. Isa bin Othman, dari Majlis Kebudayaan Negeri Keudah, Malaysia dan Dato’ Dr. Haji Wan Shamsudin Bin Mohd. Yusuf , Sejarawan Malaysia. Sedangkan untuk pemateri lokal, hadir Drs. Mawardi Umar, M. Hum, dr. Husaini ibrahim , MA, dari Prodi FKIP Sejarah Unsyiah.

“Saat ide ganyang Malaysia yang dicetuskan oleh Presiden Sukarno pada 3 Mei 1964, seluruh rakyat di Indonesia panas, kecuali Aceh. Demikian juga dengan ide ganyang Malaysia yang dikobarkan pada pertengahan 2010 lalu, seluruh daerah di Indonesia lagi-lagi menjadi Panas, kecuali Aceh. Ini membuktikan betapa dekatnya emosional Aceh dengan Malaysia,” ungkap Rektor Unsyiah, Prof. Darni M. Daud, saat membuka acara.

Menurutnya, kedekatan Aceh dan Malaysia terjadi karena memiliki sejumlah kesamaan, baik dalam hal kebudayaan, agama serta intelektual. Kedekatan ini semakin dieratkan dengan ada penaklukan Kerajaan Keudah, Malaysia oleh Sultan Iskandar Muda dari Aceh.

”Kesamaan-kesamaan inilah yang membuat mayoritas dari orang Aceh begitu dekat dengan Malaysia,”tandasnya.
Sementara itu, Prof. Madya dr. Mohd. Isa bin Othman, yang dihadirkan sebagai pemateri dari Majlis Kebudayaan Negeri Keudah, Malaysia menambahkan bahwa hubungan Aceh dan Malaysia sudah terjalin begitu erat dan terbina Sejak lama. Bahkan, sejumlah nama daerah di Malaysia menggunakan nama Aceh, demikian sebaliknya.

“Ada daerah di Malaysia yang bernama Gampong Aceh, demikian juga ada Desa Keudah di daerah Aceh. Kesamaan ini bukan terbentuk karena sendirinya, melainkan karena hubungan sejarah yang panjang,” tandas dia.

Diluar seminar tersebut, menurut berbagai sumber, keturunan Aceh berdiam di sekitar Pulang Pinang, Kedah dan Perak. Mayoritas dari warga ini, disinyalir juga masih mengajarkan bahasa dan adat istiadat Aceh kepada para generasi muda mereka.

Keturunan Aceh ini juga dilaporkan menguasai hampir sebahagian besar sektor-sektor perekonomian di Malaysia.”Rata-rata toko kelontong di Malaysia dikuasai oleh masyarakat Aceh. Ini sebabnya masyarakat Aceh memegang peranan yang Sangat penting di Malaysia hingga kini,” ungkap Maimun Lukman, 28, Dosen FKIP PPKN Unsyiah yang sempat menempuh pendidikan magíster di negeri jiran Malaysia.

Tidak hanya itu, lanjut dia, sejumlah pejabat penting di Malaysia saat ini juga merupakan keturunan asli Aceh. Namun karena telah lama berdiam diri di negeri jiran tersebut serta mengubah status kewarganegaraannya, mereka akhirnya memperoleh kepercayaan untuk menduduki jabatan tinggi.

“Tetapi, para keturunan Aceh di Malaysia tetap menjalin hubungan baik dengan para pendatang baru dari Aceh. Bahkan, masyarakat Aceh yang terlibat kasus hukum di Malaysia karena menjual ganja, tetap diberikan keringan hukuman,” jelas Maimum.
Salah satu warga keturunan Aceh yang tenar di Malaysia adalah Seniman kondang P. Ramlee. Dia lahir Desa Meunasah Alue, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe yang kemudian tenar di Malaysia. Sebenarnya, ada belasan pejabat lainnya di Malaysia, namun sulit untuk melancaknya satu persatu.

Keterikatan Aceh dengan Malaysia tidak hanya terasa di negeri jiran, tetapi juga di Aceh sendiri. Sebagai contoh, saat berlangsungnya final piala AFF Asia Tenggara, antara Malaysia dengan Indonesia, hati masyarakat Aceh justru mendua. Tidak sedikit masyarakat Aceh yang mendukung Malaysia, yang seharusnya adalah musuh dari Timnas Indonesia. Hal ini menandakan adanya keterikatan batin antara Aceh dengan Malaysia hingga kini.

Para pemimpin kita saat ini sebenarnya sangat sadar akan hal ini. Namun selama kedekatan ini dinilai tidak membawa kemudhratan bagi kesatuan negeri, maka dianggap adalah hal yang wajar.
Tan Sri Sanusi bin Junid, tokoh Malaysia asal Aceh

Mesranya hubungan Aceh dengan Malaysia adalah romatisme masa lalu yang seharusnya menjadi pelajaran penting bagi bangsa kita saat ini. Dimana, Malaysia yang sebelumnya adalah bagian dari kerajaan Aceh ternyata mampu berkembang jauh lebih maju dari induknya sendiri.

Sedangkan membandingkan daerah Aceh dengan Negara Malaysia saat ini bagaikan membandingkan langit dan bumi. Antara kedua daerah ini, terdapat sejumlah kesenjangan yang sangat jauh berbeda sehingga sulit bagi para pemimpin kita untuk saat ini untuk mengatakan bahwa Malaya pernah menjadi bagian dari Kerajaan Aceh Darussalam.

Namun bukanlah hal yang musthahil untuk membangun Aceh hari ini sejajar dengan Negara Malaysia di masa yang akan datang. Paling tidak, dibutuhkan ketekunan dan keikhlasan yang lebih dari para pemimpin kita untuk segera berbenah setelah 31 tahun dilanda konflik.

Sejarah telah mencatat bahwa Aceh yang dahulu telah mampu menunjukan jati dirinya pada dunia dengan wilayah kekuasaan hingga ke Malaya. Disaat zaman masih serba sederhana, Kerajaan Aceh justru telah mampu berbicara banyak dengan menunjukan kepiawaiannya dalam menguasai Asia Tenggara.

Sejarah kemegahan Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda seharusnya menjadi pacuan semangat yang lebih bagi pemimpin Aceh hari ini untuk melakukan hal yang serupa untuk Aceh kedepan. Jika dulu bisa, kenapa saat itu tidak. Pertanyaan inilah yang harus dijawab oleh generasi muda Aceh hari ini dalam membangun bangsanya.

Tuesday, June 25, 2013

MENGENANG SEJARAH JENDERAL-JENDERAL WANITA DUNIA TERNYATA DARI ATJEH


Tahukah anda?, bahwa beberapa Jenderal Besar wanita yang dicatat dunia berasal dari Aceh?
Dalam berbagai literatur, terdapat sederetan wanita dalam sejarah yang dijadikan sumber untuk dipelajari kepemimpinannya oleh berbagai studi di Unifersity dunia. Saya menemukan beberapa nama yang tidak asing. Para wanita Aceh.

Perang Aceh, merupakan perang yang membawa kerugian besar bagi Belanda. Kehebatan para pejuangnya, dijadikan acuan studi oleh banyak pihak untuk mempelajari bagaimana para pejuang Aceh bisa membuat Belanda kehilangan sedemikian banyak harta dan tentara. Dunia tidak dapat memandang remeh pejuang-pejuang Aceh. Beberapa diantaranya dimasukkan dalam jajaran pejuang besar dunia. Ada yang menyebutkan sebagai 7 Warlord Women in The World dimana beberapa diantaranya dari Aceh, 10 Best Female Warrior at All Time beberapa diantaranya dari Aceh, serta Women Warrior in South East Asia.

“Dari pengalaman yang dimiliki oleh panglima-panglima perang Belanda yang telah melakukan peperangan di segala penjuru dan pojok Kepulauan Indonesia, bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani perang serta fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh, dan kaum wanita Aceh yang melebihi kaum wanita bangsa lainnya, dalam keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan, mereka pun melampaui kaum laki-laki Aceh yang sudah dikenal bukanlah laki-laki lemah dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka” - HC Zentgraaf

Berikut ini adalah nama-nama Jenderal Besar Aceh. Jabatan yang dikenakan di depan nama para pejuang ini, saya tulis dalam bahasa yang digunakan dunia. Agar anda dapat melihat mereka dari sudut pandang dunia. Dan dapat mengambil kesimpulan, bahwa dunia mencatat para Jenderal Besar ini sebagai orang orang-orang yang paling dihormati.

Admiral Keumalahayati (Laksamana Keumalahayati)

Tahun 1585-1604, Keumalahayati memegang posisi Chief of the Imperial Guard Troop Commander Secret Government dan Chief of Protocol of Sultan Alauddin Saidil Mukammil Riayat Shah IV. Keumalahayati memimpin 2,000 tentara Balee Inong (janda-janda dari pahlawan yang terbunuh). Di bawah kepemimpinan Admiral Keumalahayati, Kesultanan Aceh Darussalam memiliki kekuatan 100 armada dengan kapasitas 400-500 tentara.

Admiral Keumalahayati terlibat perkelahian satu lawan satu di atas dek kapal perang melawan Cornelis de Houtman. Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya tewas. Sementara Frederick de Houtman, adik dari Cornelis de Houtman dipenjara. Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman adalah Admiral dalam kapal perang Belanda.

Kemalahayati bukan hanya Admiral dan Commander dari Angkatan Laut Kesultanan Aceh Darussalam, tapi juga memegang posisi Troop Commander sebagai Palace Guard. Kemalahayati juga menjadi diplomat bagi Sultan, dan merupakan negosiator dan memegang kendali hubungan luar negeri.

Commander Cut Nyak Dhien

Wanita Aceh ini dilahirkan tahun 1848, adalah satu dari pejuang wanita terbaik (best female warrior) dunia yang dimiliki oleh Aceh dan Indonesia. Bersama suaminya, berperang mengusir penjajahan Belanda dari Aceh.

Dalam berbagai sumber, Cut Nyak Dhien masuk dalam kategori 7 Warlord Women in The World, 10 Best Female Warrior at All Time, Women Warrior in South East Asia,

General Cut Nyak Meutia (Jenderal Cut Nyak Meutia)

Cut Meutia bersama suami keduanya, Cut Muhammad atau Teuku Cik Tunong, berjuang melawan Belanda bersama pasukannya. Teuku Cik Tunong ditangkap Belanda dan dibunuh. Melanjutkan perjuangan suaminya, Cut Nyak Meutia memimpin pasukannya melawan Belanda hingga dia terbunuh pada tahun 1910.

Uleebalang and General Pocut Baren Biheue (Hulubalang dan Jenderal Pocut Baren Biheue)

Pocut Baren adalah jenderal dengan salah satu kakinya diamputasi. Letnan H. Scheurleer melaporkan, bahwa Pocut Baren mencoba menciptakan ketertiban, keamanan dan kemakmuran rakyat Aceh di bawah kolonial Belanda. Pocut Baren melakukan perlawanan kepada Belanda. Pada tahun 1910 Belanda melakukan penyerbuan besar-besaran terhadap pertahanan pocut Baren di bawah pimpinan Letnan Hoogers. Pocut Baren ditangkap dan dibawa ke Meulaboh. Pocut Baren hidup tahun 1880-1933.

H.C Zentgraff, penulis dan tentara Hindia Belanda, menyebut wanita Aceh sebagai “de leidster van het verzet” (pemimpin perlawanan) dan grandes dames (wanita-wanita besar). Keberanian dan kesatriaan wanita Aceh melebihi segala wanita yang lain, lebih-lebih dalam mempertahankan cita-cita kebangsaan dan agamanya. Baik di belakang layar, maupun secara terang-terangan menjadi pemimpin perlawanan.

Dengan reputasi wanita Aceh yang mendunia. Pejuang-pejuang wanita dari Aceh yang dihormati dunia. Dunia menyebutnya Warlord Women in the World. Best Female Warrior at All Time. Woman Warrior. dan masih banyak jenderal-jenderal wanita atjeh lainnya yang tidak disebutkan disini.

semoga ini menjadi inspirasi buat wanita-wanita atjeh hari ini untuk bangkit mencari sesuatu yang hilang, dari apa-apa sudah wanita atjeh perbuat dulu dengan nuansa yang berbeda.

Sunday, June 23, 2013

SEJARAH BENANG MERAH RAJA DARI KARO (SUMUT) DENGAN KERAJAAN ACEH

Raja selalu menggenggam tombak bintang dan menunggangi kuda putih setiap kali memimpin pasukannya bergerilya melawan Belanda.

Adri Istambul Lingga Gayo mengenakan pakaian kebesarannya. Setelan jas warna gelap dengan dasi merah melengkapi bulang-bulang (penutup kepala), buka bulu (kain segitiga penutup pundak belakang), dan selempang yang berwarna senada. Hari itu, Kamis pertama Juni ini, Adri menjadi penggagas sekaligus pemimpin upacara ngampeken tulan-tulan bagi leluhurnya, Raja Senina Lingga.

Merupakan keturunan langsung (golongan sembuyak) Raja Senina Lingga, Adri berasal dari kalangan bangsawan Sibayak Lingga generasi kedelapan. Dia adalah keturunan langsung dari Sibayak Lingga Raja Kin, salah satu dari lima putra Raja Senina Lingga. Menurut pemaparan Adri dalam upacara ngampeken tulan-tulan, Raja Senina Lingga dalam hidupnya menikahi sepuluh istri dan memiliki sepuluh anak: lima perempuan dan lima laki-laki.

Kelima putranya adalah Sibayak Lingga Sebanaman, Sibayak Lingga Ahad, Sibayak Lingga Raja Kin, Sibayak Lingga Mbisa, dan Sibayak Lingga Umbat.

Detail riwayat hidup para leluhur masyarakat Karo tidak terdokumentasi dengan baik. Buktinya, Adri tidak bisa menyebutkan kelahiran ataupiun kematian Raja Senina Lingga dan keturunannya dengan pasti. Raja Senina Lingga disebut wafat karena uzur pada usia 120 tahun. Sepeninggal sang Raja, Kerajaan Sibayak Lingga—yang istananya, Gerga, berada di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo—dipimpin kelima putranya secara bergilir.

Namun kesaktian Raja Senina Lingga sangat kuat membekas dalam kenangan Adri dari cerita-cerita mitologi yang ia dapatkan dari para pendahulunya. Kesaktian Raja Senina Lingga syahdan diwarisi langsung dari ayahnya, Raja Natang Negeri. Raja Natang Negeri adalah salah satu putra dari Raja Linge I dari Kerajaan Linge (Lingga) di Tanah Gayo, Aceh. Kerajaan Linge, seperti disebutkan dalam buku Gajah Putih karangan M Junus Djamil (1959), didirikan orang Batak pada masa Kerajaan Perlak diperintah Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah abad ke 11.

Raja Linge I memiliki enam anak. Selain anak perempuan dan anak bungsunya, anak-anak Raja Linge I pergi dari istana. Natang Negeri merantau ke Tanah Karo. Ia bermukim di Desa Lingga dan mendirikan Kerajaan Sibayak Lingga. Di usia remaja, ia menikahi tiga gadis: Beru Sebayang, Beru Ginting Rumah Page, dan Beru Tarigan Nagasaribu. Dari Beru Sebayang, lahir seorang putra, Sibayak Lingga (Raja Senina Lingga). Ketika Senina Lingga menjadi penguasa, raja di Kesultanan Aceh, yang merupakan kerabatnya, memberikan pisau Bawar dan bendera bertuliskan kalimat syahadat.

“Sebagai tanda dia saudara dari Sultan Iskandar Muda dan keturunan Raja Linge. Benda pusaka itu masih kami pegang (simpan) sebagai tanda bukti keluarga saya,” ujar Adri.

Dengan pisau Bawar itu, kesaktian Raja Senima Lingga bertambah. Di masa hidupnya, raja itu menjadi pentolan dalam menyerang dan mengusir serdadu Belanda. Dalam adu strategi perang, Raja Senina Lingga tergolong piawai. Menurut cerita turun-temurun yang didengar Adri, sang Raja selalu menggenggam tombak bintang dan menunggangi kuda putih setiap kali memimpin pasukannya bergerilya melawan Belanda. Pertempuran demi pertempuran dilakukan raja itu hingga ke Desa Bintang Meriah dan Kuracane, Aceh.

Raja Senina Lingga meninggal pada usia 120 tahun. Sebelum mangkat, ia berpesan agar dimakamkan di Bukit Ndaholi, Desa Bintang Meriah. Dalam upacara kematiang, yang berlangsung empat hari empat malam, jenazahnya diarak ke seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Sibayak Lingga. Saat menuju tempat pemakaman, kepalanya terpisah dari tubuhnya. Menurut Adri, hal itu terjadi karena kesaktiannya. Tubuhnya dimakamkan di tanah, sedangkan kepalanya disimpan di geriten yang dibangun di atas makamnya.

Hanya, tengkorak Raja Senina Lingga nyaris dibakar dalam sebuah kerusuhan. Menurut Adri, kerusuhan itu dilatari peristiwa revolusi sosial pasca-Proklamasi Kemerdekaan. Kerusuhan itu mengusik makam para raja di Karo. Raja-raja yang dianggap bersekutu dengan Belanda menjadi sasaran amuk revolusi.

“Padahal leluhur kami memerangi Belanda,” ujar Adri. “Saat itu Tanah Karo dibumihanguskan. Oleh kakek saya, kepala (tengkorak) itu dibawa mengungsi ke Kutacane.”

Setelah kondisi membaik, pada 1950-an, kerabat keturunan Raja Senena Lingga kembali ke Desa Bintang Meriah dan menempatkan tengkorak itu di dalam kurung manik. “Kurung manik ini rumah persinggahan. Rumah asli Raja Senina Lingga masih berdiri di Desa Lingga,” kata Adri.

Setelah 63 tahun disimpan di rumah persinggahan, tengkorak berumur 400 tahun itu akhirnya dikembalikan ke geriten-nya di Bukit Ndaholi. Semua keturunannya, dari golongan sembuyak, kalimbubu, dan anak beru, kembali bersatu mengantarkan nini mereka ke tempat peristirahatan yang lebih tinggi.


Sumber : Majalah Tempo. 

Saturday, June 22, 2013

SEKILAS SEJARAH ASAL MULA NAMA ACEH

Aceh adalah nama sebuah Bangsa yang mendiami ujung paling utara pulau sumatera yang terletak di antara samudera hindia dan selat malaka.

Aceh merupakan sebuah nama dengan berbagai legenda dan mitos , sebuah bangsa yang sudah dikenal dunia internasional sejak berdirinya kerajaan poli di Aceh Pidie dan mencapai puncak kejayaan dan masa keemasan pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam di masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda hingga berakhirnya kesulthanan Aceh pada tahun 1903 di masa Sulthan Muhammad Daud Syah.

Dan walau dalam masa 42 tahun sejak 1903 s/d 1945 Aceh tanpa pemimpin, Aceh tetap berdiri dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari tangan Belanda dan Jepang yang dipimpin oleh para bangsawan, hulubalang dan para pahlawan Aceh seperti Tgk Umar, Cut Nyak Dhien dan lain-lain dan juga Aceh mempunyai andil yang sangat besar dalam mempertahankan Nusantara ini dengan pengorbanan rakyat dan harta benda yang sudah tak terhitung nilainya hingga Aceh bergabung dengan Indonesia karena kedunguan dan kegoblokan Daud Beureueh yang termakan oleh janji manis dan air mata buaya Soekarno.
Banyak sekali tentang mitos tentang nama Aceh, Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh :

1. Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat wajah Aceh semakin majemuk. Sepeti dikutip oleh H.M. Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) catatan Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman Yunani, orang-orang Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah, melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba.Orang-orang Arab Saba mengangkut rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.

2. Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar.

3. HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mantee (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.Semua bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho danTangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya.

Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri. Sementara orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari.

4. Rouffaer, salah seorang penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.

5. Sementara orang Arab menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ; orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.

6. Informasi tentang asal-muasal nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi lain, asal-usul nama Aceh lebih banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di antaranya, dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal Gujarat (India) berlayar ke Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini disebut Krueng Aceh).Para anak buah kapal (ABK) itu pun kemudian naik ke darat menuju Kampung Pande. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba mereka kehujanan dan berteduh di bawah sebuah pohon. Mereka memuji kerindangan pohon itu dengan sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah, indah. Menurut Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di Kampung Pande (dahulu),Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.

7. Dalam versi lain diceritakan tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu. Ketika sang budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat cahaya aneka warna di atas sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho, alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.

8. Dalam cerita lain disebutkan, ada dua orang kakak beradik sedang mandi di sungai. Sang adik sedang hamil. Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon pisang. Di atasnya tergeletak sesuatu yang bergerak-gerak. Kedua putri itu lalu berenang dan mengambilnya. Ternyata yang bergerak itu adalah seorang bayi. Sang kakak berkata pada adiknya “Berikan ia padaku karena kamu sudah mengandung dan aku belum. ”Permintaan itu pun dikabulkan oleh sang adik. Sang kakak lalu membawa pulang bayi itu ke rumahnya. Dan, ia pun berdiam diri di atas balai-balai yang di bawahnya terdapat perapian (madeueng) selama 44 hari, layaknya orang yang baru melahirkan. Ketika bayi itu diturunkan dari rumah, seisi kampung menjadi heran dan mengatakan: adoe nyang mume, a nyang ceh (Maksudnya si adik yang hamil, tapi si kakak yang melahirkan).

9. Mitos lainnya menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang anak raja yang sedang berlayar, dengan suatu sebab kapalnya karam. Ia terdampar ke tepi pantai, di bawah sebatang pohon yang oleh penduduk setempat dinamaipohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian ditabalkan menjadi nama Aceh.

10. Talson menceritakan, pada suatu masa seorang puteri Hindu hilang, lari dari negerinya, tetapi abangnya kemudian menemukannya kembali di Aceh. Ia mengatakan kepada penduduk di sana bahwa puteri itu aji, yang artinya ”adik”. Sejak itulah putri itu diangkat menjadi pemimpin mereka, dan nama aji dijadikan sebagai nama daerah, yang kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi Aceh.

11. Mitos lainnya yang hidup di kalangan rakyat Aceh, menyebutkan istilah Aceh berasal dari sebuah kejadian, yaitu istri raja yang sedang hamil, lalu melahirkan. Oleh penduduk saat itu disebut ka ceh yang artinya telah lahir. Dan, dari sinilah asal kata Aceh.

12. Kisah lainnya menceritakan tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari rangkaian kata a yang artinya tidak, dan ceh yang artinya pecah. Jadi, kata aceh bermakna tidak pecah.

13. Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Acehadalah dari suku Mantir (Mantee, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Manteu ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang.

Tuesday, June 4, 2013

KUEH APAM ACEH (KUEH KHAS ACEH).

Khanduri Apam (Kenduri Serabi) adalah salah satu tradisi masyarakat Aceh berupa pada bulan ke tujuh (buleun Apam) dalam kalender Aceh. Buleun Apamadalah salah satu dari nama-nama bulan dalam “Almanak Aceh” yang setara dengan bulan Rajab dalam Kalender Hijriah. Buleun artinya bulan dan Apamadalah sejenis makanan yang mirip serabi.

Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh untuk mengadakan Khanduri Apampada buleun Apam. Tradisi ini paling populer di kabupaten Pidie sehingga dikenal dengan sebutan Apam Pidie. Selain di Pidie, tradisi ini juga dikenal di Aceh Utara, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lain di Provinsi Aceh.

Kegiatan toet apam (memasak apam) dilakukan oleh kaum ibu di desa. Biasanya dilakukan sendirian atau berkelompok. Pertama sekali yang harus dilakukan untuk memasak apam adalah top teupong breuh bit (menumbuk tepung dari beras nasi). Tepung tersebut lalu dicampur santan kelapa dalam sebuahbeulangong raya (periuk besar). Campuran ini direndam paling kurang tiga jam, agar apam yang dimasak menjadi lembut. Adonan yang sudah sempurna ini kemudian diaduk kembali sehingga menjadi cair. Cairan tepung inilah yang diambil dengan aweuek/iros untuk dituangkan ke wadah memasaknya, yaknineuleuek berupa cuprok tanoh (pinggan tanah).

Dulu, Apam tidak dimasak dengan kompor atau kayu bakar, tetapi dengan on ‘ue tho (daun kelapa kering). Malah orang-orang percaya bahwa Apam tidak boleh dimasak selain dengan on ‘ue tho ini. Masakan Apam yang dianggap baik, yaitu bila permukaannya berlubang-lubang sedang bagian belakangnya tidak hitam dan rata (tidak bopeng).

Apam paling sedap bila dimakan dengan kuahnya, yang disebut kuah tuhe, berupa masakan santan dicampur pisang klat barat (sejenis pisang raja) atau nangka masak serta gula. Bagi yang alergi kuah tuhe mungkin karena luwihnya (gurih), kue Apam dapat pula dimakan bersama kukuran kelapa yang dicampur gula. Bahkan yang memakan Apam saja (seunge Apam), yang dulu di Aceh Besar disebut Apam beb. Selain dimakan langsung, dapat juga Apam itu direndam beberapa lama ke dalam kuahnya sebelum dimakan. Cara demikian disebutApam Leu’eop. Setelah semua kuahnya habis dihisap barulah Apam itu dimakan.

Apam yang telah dimasak bersama kuah tuhe siap dihidangkan kepada para tamu yang sengaja dipanggil/diundang ke rumah. Dan siapapun yang lewat/melintas di depan rumah, pasti sempat menikmati hidangan Khanduri Apam ini. Bila mencukupi, kenduri Apam juga diantar ke Meunasah (surau di Aceh) serta kepada para keluarga yang tinggal di kampung lain. Begitulah, acara toet Apamdiadakan dari rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung lainnya selamabuleuen Apam (bulan Rajab) sebulan penuh.

Sejarah Khanduri Apam

Tradisi Khanduri Apam ini adalah berasal dari seorang sufi yang amat miskin di Tanah Suci Mekkah. Si miskin yang bernama Abdullah Rajab adalah seorang zahid yang sangat taat pada agama Islam. Berhubung amat miskin, ketika ia meninggal tidak satu biji kurma pun yang dapat disedekahkan orang sebagai kenduri selamatan atas kematiannya. Keadaan yang menghibakan / menyedihkan hati itu, ditambah lagi dengan sejarah hidupnya yang sebatangkara, telah menimbulkan rasa kasihan masyarakat sekampungnya untuk mengadakan sedikit kenduri selamatan di rumah masing-masing. Mereka memasak Apam untuk disedekahkan kepada orang lain. Itulah ikutan tradisi toet Apam (memasak Apam) yang sampai sekarang masih dilaksanakan masyarakat Aceh.

Selain pada buleuen Apam (bulan Rajab), kenduri Apam juga diadakan pada hari kematian. Ketika si mayat telah selesai dikebumikan, semua orang yang hadir dikuburan disuguhi dengan kenduri Apam. Apam di perkuburan ini tidak diberi kuahnya. Hanya dimakan dengan kukuran kelapa yang diberi gula (di lhok ngon u).

Khanduri Apam juga diadakan di kuburan setelah terjadi gempa hebat, seperti gempa tsunami, hari Minggu, 26 Desember 2004. Tujuannya adalah sebagai upacara Tepung Tawar (peusijuek) kembali bagi famili mereka yang telah meninggal. Akibat gempa besar, boleh jadi si mayat dalam kubur telah bergeser tulang-belulangnya. Sebagai turut berduka-cita atas keadaan itu, disamping memohon rahmat bagi orang yang telah meninggal tersebut, maka diadakanlah khanduri Apam tersebut.

Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa latar belakang pelaksanaan kenduri apam pada mulanya ditujukan kepada laki-laki yang tidak shalat Jum’at ke mesjid tiga kali berturut-turut, sebagai dendanya diperintahkan untuk membuat kue apam sebanyak 100 buah untuk diantar ke mesjid dan dikendurikan (dimakan bersama-sama) sebagai sedekah. Dengan semakin seringnya orang membawa kue apam ke mesjid akan menimbulkan rasa malu karena diketahui oleh masyarakat bahwa orang tersebut sering meninggalkan shalat Jum’at.

Thursday, April 18, 2013

GAMPONG PANDE

Nama Kampung Pande ditemukan di Hikayat Pocut Muhammad yang disusun pada awal abad ke-18 Masehi. Seperti ditulis Karel F.H van Langen yang berjudul Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, terbitan tahun 1986, Kampung Pande sudah dikenal sebagai tempat pengrajin benda logam dan batu-batu mulia. Mungkin karena itu pula dinamakan Kampung Pande.

Kampung ini tak hanya menjadi sebuah sejarah kejayaan masa lalu, namun menjadi tolak ukur untuk anak cucu kita menciptakan sejarah dimasa akan datang. Pejuang Aceh dulu sudah sangat berjasa dalam menata kehidupan di bumi Aceh ini, mereka telah rela menumpahkan darahnya demi marwah bangsa. Namun sangat disayangkan jika generasi penerus bangsa ini melupakan jasa-jasa para leluhur. Gampong ini bahkan telah tergerus oleh abrasi laut. Sangat disayangkan, sebuah bukti sejarah kejayaan Aceh harus hilang dan dilupakan oleh anak cucunya. Padahal Kampung Pande yang merupakan salah satu kampung tua , yang dapat dijadikan laboratorium bagi sejarah perkembangan kota Banda Aceh. Tak lama lagi semua situs sejarah disana akan lenyap tak tersisah. Akan kah kita menginginkan hal itu terjadi.

Friday, April 12, 2013

ACEH BISA GUGAT BELANDA KE MAHKAMAH INTERNASIONAL ATAS AGRESI MILITER DI ACEH PADA TAHUN 1873

Aceh adalah sebuah negara berdaulat yang pertama mengakui kemerdekaan Belanda pada tahun 1602 sebagai satu entitas politik. Namun pengakuan tersebut dibalas Belanda dengan menyatakan maklumat perang terhadap Aceh pada 1873, menyisakan kesengsaraaan meskipun Aceh tidak pernah takluk dari Belanda. Ungkap Batara (KKUB)

Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara R Hutagalun
g mengatakan rakyat Aceh dapat menggugat dan menuntut Pemerintah Belanda ke Mahkamah Internasional atas agresi Belanda terhadap Aceh pada 1873. Akibat agresi itu sekitar 70 ribu rakyat Aceh meninggal, dan menyisakan kesengsaraaan meskipun Aceh tidak pernah takluk dari Belanda.
 

“Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 1873 dan sejak itulah terjadi kejahatan dan penindasan yang membuat banyak terjadi pembantaian penduduk sipil. Belanda harus resmi minta maaf kepada rakyat Aceh atas agresi militer tersebut,” kata Batara seusai menjadi pembicara pada Seminar Kejanggalan dalam Hubungan Diplomatik RI-Belanda dalam Perspektif Nasional dan Lokal yang diselenggarakan Prodi Sejarah FKIP Unsyiah di aula kampus setempat.

Menurut Batara pengajuan gugatan tersebut dinilai penting sebagai bagian dari upaya mengangkat martabat rakyat Aceh yang secara langsung mengalami penindasan dari Belanda selama masa penjajahan.

Dia sebutkan Belanda secara jelas telah melakukan pelanggaran teritorial dimana saat itu Aceh merupakan satu negara yang berdaulat, yang ditandai dengan adanya hubungan diplomatik yang intens dengan Belanda dan negara lainnya.

Bahkan, kata Batara, Aceh adalah sebuah negara berdaulat yang pertama mengakui kemerdekaan Belanda pada tahun 1602 sebagai satu entitas politik. Namun pengakuan tersebut dibalas Belanda dengan menyatakan maklumat perang terhadap Aceh pada 1873 yang hingga kini belum pernah dicabut Belanda.

Tapi sekarang bukan soal kompensasi lagi yang dicari. Tapi yang kita tuntutan walau satu rupiah adalah dilakukan secara simbolis. Belanda harus resmi minta maaf kepada rakyat Aceh atas agresi militer tersebut,” tegas Batara.

Sejarawan Aceh Siap Mendukung Gugat Belanda.

Sampai saat ini maklumat perang belanda terhadap Aceh belum dicabut. Sejak awal memang Aceh sudah banyak berjasa kepada Belanda, karena Aceh yang pertama mengakui kemerdekaan Belanda. Tapi air susu dibalas air tuba.

* Rusdi Sufi, Sejarawan Aceh

Monday, April 1, 2013

SEJARAH SERANGAN DI LUENG BATA

Kecamatan Lueng Bata, Kota Banda Aceh dikenal memiliki sederet sejarah perjuangan dan ulama pada masa penjajahan Belanda, bahkan Sultan sempat diungsikan dari Keraton pada waktu serangan Belanda menempur pasukan Aceh di Masjid Raya Baiturrahman. Tanggal 1 Januari 1875, disinilah sejarah itu berawal saat pasukan marsose Belanda yang di bawah komando Wilhelmus van Nassauwe, anak buah dari pimpinan Kolonel Pel menyusun strategi untuk menggempur pejuang Aceh di bawah pimpinan Tgk Imum Lueng Bata, dan sahabatnya Panglima Polem serta Tuanku Hasyim yang ingin menguasai semua daerah di Kutaraja untuk diduduki oleh Belanda.
Lebih kurang 1000 orang pasukan Belanda sejak pagi buta sudah berangkat dari Keraton ke arah Lueng Bata, sedangkan sebagian lainnya berangkat pantai Ulee Lheue dengan tujuan akhir akan menyerang Lueng Bata secara bersamaan. Namun, naas menimpa pasukan Belanda disepanjang perjalanan mereka telah dihadang oleh beberapa pejuang Aceh yang berani mati dengan menggunakan kelewang dan bambu runcing membunuh setiap pasukan yang dapat mereka bunuh.

Friday, March 29, 2013

STADION HARAPAN BANGSA BANDA ACEH


Stadion Harapan Bangsa atau Stadion Lhong Raya adalah sebuah stadion sepak bola di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, yang juga merupakan markas klub sepak bola Persiraja Banda Aceh dan Atjeh United FC yang bermain di Liga Primer Indonesia tahun 2011/2012. Stadion ini direnovasi setelah bencana Gempa bumi Samudra Hindia 2004. Stadion Harapan Bangsa memiliki kapasitas 45000 tempat duduk. Stadion kebanggaan Tanah Rencong ini sempat menjadi salah satu stadion Termegah di Indonesia tahun 2000 namun akibat kurangnya perawatan di stadion ini dan Terjadinya Gempa Tsunami membuat julukan itu menjadi hilang dan sekarang menjadi kenangan.

ACEH BUKAN PEMBERONTAK TAPI ACEH DULU NEGARA YANG BERDAULAT

Bila Bangsa Aceh Bersatu dan menuntut Kedaulatannya kembali ke dunia Internasional Itu Sah – Sah Saja, dikarenakan Bangsa Aceh tidak pernah berontak pada NKRI, karena bukti sejarah mengatakan seperti itu.

Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dan media massa nasional, beberapa tahun sebelum terciptanya perdamaian di Nangroe Aceh Darussalam, kita sering mendengar istilah ‘pemberontakan rakyat Aceh’ atau ‘pemberontakan Aceh’ terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden penerusnya, sejumlah ‘kontingen’ pasukan dari berbagai daerah terutama dari Jawa dikirim ke Aceh untuk ‘memadamkan’ pemberontakan ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah ‘pemberontakan’ yang dilakukan Aceh terhadap NKRI. Namun tahukah kita bahwa istilah tersebut sesungguhnya bias dan kurang tepat? Karena sesungguhnya dan ini fakta sejarah bahwa Naggroe Aceh Darussalam sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, namun menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah ini, “berontak” dengan “menarik kesepakatan” merupakan dua hal yang sangat berbeda.

*) Aceh Sudah Berdaulat Sebelum NKRI Lahir.

NKRI secara resmi baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan Nanggroe Aceh Darussalam sudah berabad-abad sebelumnya merdeka, memiliki hukum kenegaraan Qanun-nya sendiri, menjalin persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan pernah menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Tuki Utsmaniyah.

Jadi, bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan Budha Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru merdeka di abad ke -20 ?

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan negara berdaulat yang sama sekali tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda pernah dua kali mengirimkan pasukannya dalam jumlah yang amat besar untuk menyerang dan menundukkan Aceh, namun keduanya menemui kegagalan, walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-pusat negerinya.

Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada rakyat Aceh adalah mempertahankan marwah, harga diri dan martabat, Aceh Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang bernafaskan Islam.

Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak rakyat Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Sudah ratusan tahun, berabad-abad Kerajaan Aceh Darussalam berdiri dengan tegak bahkan diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai “Negara” yang merdeka dan berdaulat.

Istilah “Indonesia” sendiri baru saja lahir di abad ke-19. Jika diumpamakan dengan manusia, maka Aceh Darussalam adalah seorang manusia dewasa yang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, dan mandiri, sedang “Indonesia” masih berupa jabang bayi yang untuk makan sendiri saja belum lah mampu melakukannya.

Banyak literatur sejarah juga lazim menyebut orang Aceh sebagai “Rakyat Aceh”, tapi tidak pernah menyebut hal yang sama untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah menyebut orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai rakyat Kalimantan, dan sebagainya. Yang ada hanya rakyat Aceh. Karena Aceh sendari dulu memang sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat.

Thursday, March 28, 2013

KERAJAAN JEUMPA ( Bireuen Aceh )

Kerajaan Jeumpa adalah sebuah kerajaan yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur pada sekitar abad ke VIII Masehi. Hal ini berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang ditulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari Hikayat Radja Jeumpa.

Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng y
ang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pinto Ubeut. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke Pinto Rayek (pintu besar).

Berdasarkan silsilah keturunan sultan-sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 H atau tahun 777 M dipimpin oleh seorang pangeran dari Persia (India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seuludong dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Duli, Syahri Tanti, Syahri Nawi, Syahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari sultan pertama Kerajaan Islam Perlak. Menurut penelitian pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar meurah, habib, sayyid, syarif, sunan, teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahri Banun, anak Maha Raja Persia terakhir.


Mengenai keberadaan Syahri Nawi ini, disebutkan oleh Syekh Hamzah Fansuri. Syekh ini adalah ulama sufi dan sastrawan terkenal Nusantara yang berpengaruh dalam pembangunan Kerajaan Aceh Darussalam, yang juga merupakan guru Syamsuddin al-Sumatrani yang dikenal sebagai Syekh Islam Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Iskandar Muda. A. Hasymi menyebutkan beliau juga adalah paman dari Maulana Syiah Kuala (Syekh Abdul Rauf al-Fansuri al-Singkili). Syekh Fansuri dalam beberapa kesempatan menyatakan asal-muasalnya dan hubungannya dengan Syahri Nawi. Diantaranya syair:


Hamzah ini asalnya Fansuri

Mendapat wujud di tanah Syahrnawi
Beroleh khilafat ilmu yang ’ali
Daripada ’Abd al-Qadir Jilani
Hamzah di negeri Melayu
Tempatnya kapur di dalam kayu

Dari rangkaian syair ini, maka jelaslah bahwa ada hubungan antara bumi Syahrnawi (Syahr Nawi) dengan Fansur yang menjadi asal muasal kelahiran Syekh Hamzah Fansuri dan tempat yang terkenal kapur barus. Sebagaimana disebutkan di atas, Syahr Nawi adalah anak Pangeran Salman (Sasaniah Salman) yang lahir di daerah Jeumpa, di Aceh, Bireuen saat ini. Syahr Nawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Perlak, bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun 805 M yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz. Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pasai dan mendapat kegemilangannya pada masa Kerajaan Aceh Darussalam. Maka tidak mengherankan jika Syekh Hamzah Fansuri, mengatakan kelahirannya di bumi Sharhnawi yang merupakan salah seorang generasi pertama pengasas Kerajaan-kerajaan Islam Aceh yang dimulai dari Kerajaan Islam Jeumpa. Pernyataan Syekh Hamzah Fansuri ini juga menjadi hujjah yang menguatkan teori bahwa Jeumpa, asal kelahiran Syahrnawi adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara.


Keberadaan Kerajaan Islam Jeumpa ini dapat pula ditelusi dari pembentukan Kerajaan Perlak yang dianggap sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Syahr Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah.


Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Abdullah bin Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak.


Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi'ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah. Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi (termasuk Muhammad bin Ja'far Shadiq) segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.


Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujruen, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.

Monday, March 25, 2013

MASJID SYUHADA

Inilah Masjid Syudaha Cot Plieng Bayu. Letaknya di Desa Beunot, Syamtalira Bayu, Aceh Utara. Sejarah berdirinya masjid ini bersinggungan dengan Jepang. Masjid ini simbol keberanian Teungku Cot Plieng melawan Jepang bersama para santrinya. Masjid sempat dibakar Jepang pada 1942. Teungku Iskandar, pengurus masjid, menuturkan alasan Jepang membakar masjid ketika mereka tidak menemukan Teungku Cot Plieng atau Teungku Abdul Djalil, ulama muda yang sangat dicari tentara Jepang pada masa itu. Iskandar adalah cicit Teungku Cot Plieng. Setelah dibakar, pada 1988 seperti tertera di prasasti, masjid kembali dibangun oleh Jepang karena merasa bersalah terhadap masyarakat Aceh.

Teungku Abdul Djalil wafat dalam sebuah pertempuran dengan Jepang, makamnya kini terletak di samping masjid, berdampingan dengan makam dua istrinya. Di situ juga ada makam santri-santri Teungku Cot Plieng. Sebagai bukti sejarah pula, tugu pahlawan dibuat di depan Jalan Medan-Banda Aceh. Pada tugu tertera jumlah pejuang Aceh yang syahid dalam perang melawan Jepang. Masjid Cot Plieng sekarang kerap dijadikan sebagai tempat pengajian dan tadarus para wanita lanjut usia. Pada bulan Ramadan mereka melakukan pengajian dan tadarus untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kita berharap Pemerintah Aceh Utara memberikan sumbangsih agar masjid bersejarah itu tak punah begitu saja atau setidaknya Pemerintah Jepang memugar kembali masjid termasuk makam para syuhada agar terlihat indah.

Monday, March 18, 2013

BUKTI SEJARAH ACEH

Banyak sejarah di Provinsi Aceh sudah tidak terarah saat ini, banyak sekali situs sejarah di Aceh tidak terawat dengan baik, bahkan ada yang hilang. Begitu juga dengan sejarah tentang Kesultanan Aceh. Sejarah Kesultanan Aceh sudah cukup banyak yang berubah karena ditulis orang luar, sebenarnya ada 34 sultan, namun yang terpublikasi hanya Sultan Iskandar Muda.

Dikatakan,sejarah kesultanan Aceh wajib diperjuangkan oleh seluruh masyarakat Aceh. Untuk itu sangat penting bagi masyarakat untuk dapat memperingati hari kesultanan Aceh, apalagi bagi anak-anak cucu kita ke depan. Kalau data tentang sejarah Kesultanan Aceh Darussalam mulai jelas kembali, kita bisa memperjuangkan untuk dipatenkan di tingkat pusat.
 
Kita harap pemerintah memperingati hari-hari penting dalam sejarah Aceh, bahkan hari-hari tersebut sepatutnya dijadikan hari besar untuk dirayakan setiap tahun secara luas. Selain itu, Aceh bukan hanya tentang sejarah kesultanan saja yang sudah menghilang, tetapi banyak juga tentang pribahasa Aceh yang benar, seperti bahasa bahasa Aceh kini mulai berubah ke Acehannya. Bahkan zaman sekarang ini, banyak pengurus bangsa di Aceh yang tidak mengerti bahasa Aceh.

Sejauh ini banyak elemen masyarakat yang berusaha untuk membangkitkan kembali tentang sejarah-sejarah di Aceh, namun tidak ada perhatian yang signifikan dari pihak terkait seperti Pemerintah. Seharusnya pemerintah melalui dinas terkait harus lebih peka terhadap sejarah, begitu juga dengan eksekutif dan legeslatif di Aceh. Bila ini diabaikan, maka sejarah Kesultanan Aceh akan hilang dan anak anak cucu kita ke depan.

Tuesday, March 12, 2013

SAMUDERA PASE RAYA

Samudera Pase Raya adalah sebuah kawasan di Aceh sebagai bagian dari sejarah Kerajaan Samudera Pasai yang berada di wilayah Aceh Utara, Bireuen dan Kota Lhokseumawe. Kawasan ini tergolong sebagai kawasan industri terbesar di provinsi Aceh dan juga tergolong industri terbesar di luar pulau Jawa, khususnya dengan dibukanya industri pengolahan gas alam cair PT. Arun LNG di Lhokseumawe pada tahun 1974. Di daerah wilayah ini juga terdapat pabrik-pabrik besar lainnya: Pabrik Kertas Kraft Aceh, pabrik Pupuk AAF (Aceh Asean Fertilizer) dan pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM).

Dalam sektor pertanian, daerah ini mempunyai unggulan reputasi sendiri sebagai penghasil beras yang sangat penting. maka secara keseluruhan Kabupaten Aceh Utara (dulunya merupakan Kabupaten induk dari Bireuen dan Lhokseumawe) merupakan daerah Tingkat II yang paling potensial di provinsi dan pendapatan per kapita di atas paras Rp. 1,4 juta tanpa migas atau Rp. 6 juta dengan migas.Ladang gas dan minyak ditemukan di Lhokseumawe, ibu kota Aceh Utara sekitar tahun 1970-an. Kemudian, Acehpun mulai didatangi para investor luar negeri yang tertarik pada sumber daya alamnya yang hebat.

Dengan berkembangnya Kabupaten Aceh Utara yang makin pesat, pada tahun 1986 dibentuklah Kotif (Kota Administratif) Lhokseumawe dengan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1986 yang membawahi 5 kecamatan. Dan berdasarkan Kep Mendagri Nomor 136.21-526 tanggal 24 Juni 1988 tentang pembentukan wilayah kerja pembantu Bupati Pidie dan Pembantu Bupati Aceh Utara dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, maka terbentuklah Pembantu Bupati Aceh Utara di Lhoksukon, sehingga pada saat ini Kabupaten Aceh Utara terdiri dari 2 Pembantu Bupati, 1 kota administratip, 26 wilayah kecamatan yaitu 23 kecamatan yang sudah ada ditambah dengan 3 kecamatan pemekaran baru.

Pada tahun 1999 Kabupaten Aceh Utara yang terdiri dari 26 Kecamatan dimekarkan lagi menjadi 30 kecamatan dengan menambah empat kecamatan baru berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1999.Seiring dengan pemekaran kecamatan baru tersebut, Aceh Utara harus merelakan hampir sepertiga wilayahnya untuk menjadi kabupaten baru, yaitu Kabuparten Bireuen berdasarkan Undang Undang nomor 48 tahun 1999. Wilayahnya mencakup bekas wilayah Pembantu Bupati di Bireuen. Kemudian pada Oktober 2001, tiga kecamatan dalam wilayah Aceh Utara, yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, dan Kecamatan Blang Mangat dijadikan Kota Lhokseumawe.