Friday, March 29, 2013

STADION HARAPAN BANGSA BANDA ACEH


Stadion Harapan Bangsa atau Stadion Lhong Raya adalah sebuah stadion sepak bola di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, yang juga merupakan markas klub sepak bola Persiraja Banda Aceh dan Atjeh United FC yang bermain di Liga Primer Indonesia tahun 2011/2012. Stadion ini direnovasi setelah bencana Gempa bumi Samudra Hindia 2004. Stadion Harapan Bangsa memiliki kapasitas 45000 tempat duduk. Stadion kebanggaan Tanah Rencong ini sempat menjadi salah satu stadion Termegah di Indonesia tahun 2000 namun akibat kurangnya perawatan di stadion ini dan Terjadinya Gempa Tsunami membuat julukan itu menjadi hilang dan sekarang menjadi kenangan.

ACEH BUKAN PEMBERONTAK TAPI ACEH DULU NEGARA YANG BERDAULAT

Bila Bangsa Aceh Bersatu dan menuntut Kedaulatannya kembali ke dunia Internasional Itu Sah – Sah Saja, dikarenakan Bangsa Aceh tidak pernah berontak pada NKRI, karena bukti sejarah mengatakan seperti itu.

Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dan media massa nasional, beberapa tahun sebelum terciptanya perdamaian di Nangroe Aceh Darussalam, kita sering mendengar istilah ‘pemberontakan rakyat Aceh’ atau ‘pemberontakan Aceh’ terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden penerusnya, sejumlah ‘kontingen’ pasukan dari berbagai daerah terutama dari Jawa dikirim ke Aceh untuk ‘memadamkan’ pemberontakan ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah ‘pemberontakan’ yang dilakukan Aceh terhadap NKRI. Namun tahukah kita bahwa istilah tersebut sesungguhnya bias dan kurang tepat? Karena sesungguhnya dan ini fakta sejarah bahwa Naggroe Aceh Darussalam sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, namun menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah ini, “berontak” dengan “menarik kesepakatan” merupakan dua hal yang sangat berbeda.

*) Aceh Sudah Berdaulat Sebelum NKRI Lahir.

NKRI secara resmi baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan Nanggroe Aceh Darussalam sudah berabad-abad sebelumnya merdeka, memiliki hukum kenegaraan Qanun-nya sendiri, menjalin persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan pernah menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Tuki Utsmaniyah.

Jadi, bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan Budha Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru merdeka di abad ke -20 ?

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan negara berdaulat yang sama sekali tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda pernah dua kali mengirimkan pasukannya dalam jumlah yang amat besar untuk menyerang dan menundukkan Aceh, namun keduanya menemui kegagalan, walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-pusat negerinya.

Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada rakyat Aceh adalah mempertahankan marwah, harga diri dan martabat, Aceh Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang bernafaskan Islam.

Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak rakyat Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Sudah ratusan tahun, berabad-abad Kerajaan Aceh Darussalam berdiri dengan tegak bahkan diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai “Negara” yang merdeka dan berdaulat.

Istilah “Indonesia” sendiri baru saja lahir di abad ke-19. Jika diumpamakan dengan manusia, maka Aceh Darussalam adalah seorang manusia dewasa yang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, dan mandiri, sedang “Indonesia” masih berupa jabang bayi yang untuk makan sendiri saja belum lah mampu melakukannya.

Banyak literatur sejarah juga lazim menyebut orang Aceh sebagai “Rakyat Aceh”, tapi tidak pernah menyebut hal yang sama untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah menyebut orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai rakyat Kalimantan, dan sebagainya. Yang ada hanya rakyat Aceh. Karena Aceh sendari dulu memang sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat.

Thursday, March 28, 2013

KERAJAAN JEUMPA ( Bireuen Aceh )

Kerajaan Jeumpa adalah sebuah kerajaan yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur pada sekitar abad ke VIII Masehi. Hal ini berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang ditulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari Hikayat Radja Jeumpa.

Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng y
ang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pinto Ubeut. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke Pinto Rayek (pintu besar).

Berdasarkan silsilah keturunan sultan-sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 H atau tahun 777 M dipimpin oleh seorang pangeran dari Persia (India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seuludong dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Duli, Syahri Tanti, Syahri Nawi, Syahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari sultan pertama Kerajaan Islam Perlak. Menurut penelitian pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar meurah, habib, sayyid, syarif, sunan, teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahri Banun, anak Maha Raja Persia terakhir.


Mengenai keberadaan Syahri Nawi ini, disebutkan oleh Syekh Hamzah Fansuri. Syekh ini adalah ulama sufi dan sastrawan terkenal Nusantara yang berpengaruh dalam pembangunan Kerajaan Aceh Darussalam, yang juga merupakan guru Syamsuddin al-Sumatrani yang dikenal sebagai Syekh Islam Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Iskandar Muda. A. Hasymi menyebutkan beliau juga adalah paman dari Maulana Syiah Kuala (Syekh Abdul Rauf al-Fansuri al-Singkili). Syekh Fansuri dalam beberapa kesempatan menyatakan asal-muasalnya dan hubungannya dengan Syahri Nawi. Diantaranya syair:


Hamzah ini asalnya Fansuri

Mendapat wujud di tanah Syahrnawi
Beroleh khilafat ilmu yang ’ali
Daripada ’Abd al-Qadir Jilani
Hamzah di negeri Melayu
Tempatnya kapur di dalam kayu

Dari rangkaian syair ini, maka jelaslah bahwa ada hubungan antara bumi Syahrnawi (Syahr Nawi) dengan Fansur yang menjadi asal muasal kelahiran Syekh Hamzah Fansuri dan tempat yang terkenal kapur barus. Sebagaimana disebutkan di atas, Syahr Nawi adalah anak Pangeran Salman (Sasaniah Salman) yang lahir di daerah Jeumpa, di Aceh, Bireuen saat ini. Syahr Nawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Perlak, bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun 805 M yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz. Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pasai dan mendapat kegemilangannya pada masa Kerajaan Aceh Darussalam. Maka tidak mengherankan jika Syekh Hamzah Fansuri, mengatakan kelahirannya di bumi Sharhnawi yang merupakan salah seorang generasi pertama pengasas Kerajaan-kerajaan Islam Aceh yang dimulai dari Kerajaan Islam Jeumpa. Pernyataan Syekh Hamzah Fansuri ini juga menjadi hujjah yang menguatkan teori bahwa Jeumpa, asal kelahiran Syahrnawi adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara.


Keberadaan Kerajaan Islam Jeumpa ini dapat pula ditelusi dari pembentukan Kerajaan Perlak yang dianggap sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Syahr Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah.


Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Abdullah bin Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak.


Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi'ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah. Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi (termasuk Muhammad bin Ja'far Shadiq) segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.


Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujruen, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.

Monday, March 25, 2013

MASJID SYUHADA

Inilah Masjid Syudaha Cot Plieng Bayu. Letaknya di Desa Beunot, Syamtalira Bayu, Aceh Utara. Sejarah berdirinya masjid ini bersinggungan dengan Jepang. Masjid ini simbol keberanian Teungku Cot Plieng melawan Jepang bersama para santrinya. Masjid sempat dibakar Jepang pada 1942. Teungku Iskandar, pengurus masjid, menuturkan alasan Jepang membakar masjid ketika mereka tidak menemukan Teungku Cot Plieng atau Teungku Abdul Djalil, ulama muda yang sangat dicari tentara Jepang pada masa itu. Iskandar adalah cicit Teungku Cot Plieng. Setelah dibakar, pada 1988 seperti tertera di prasasti, masjid kembali dibangun oleh Jepang karena merasa bersalah terhadap masyarakat Aceh.

Teungku Abdul Djalil wafat dalam sebuah pertempuran dengan Jepang, makamnya kini terletak di samping masjid, berdampingan dengan makam dua istrinya. Di situ juga ada makam santri-santri Teungku Cot Plieng. Sebagai bukti sejarah pula, tugu pahlawan dibuat di depan Jalan Medan-Banda Aceh. Pada tugu tertera jumlah pejuang Aceh yang syahid dalam perang melawan Jepang. Masjid Cot Plieng sekarang kerap dijadikan sebagai tempat pengajian dan tadarus para wanita lanjut usia. Pada bulan Ramadan mereka melakukan pengajian dan tadarus untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kita berharap Pemerintah Aceh Utara memberikan sumbangsih agar masjid bersejarah itu tak punah begitu saja atau setidaknya Pemerintah Jepang memugar kembali masjid termasuk makam para syuhada agar terlihat indah.

Monday, March 18, 2013

BUKTI SEJARAH ACEH

Banyak sejarah di Provinsi Aceh sudah tidak terarah saat ini, banyak sekali situs sejarah di Aceh tidak terawat dengan baik, bahkan ada yang hilang. Begitu juga dengan sejarah tentang Kesultanan Aceh. Sejarah Kesultanan Aceh sudah cukup banyak yang berubah karena ditulis orang luar, sebenarnya ada 34 sultan, namun yang terpublikasi hanya Sultan Iskandar Muda.

Dikatakan,sejarah kesultanan Aceh wajib diperjuangkan oleh seluruh masyarakat Aceh. Untuk itu sangat penting bagi masyarakat untuk dapat memperingati hari kesultanan Aceh, apalagi bagi anak-anak cucu kita ke depan. Kalau data tentang sejarah Kesultanan Aceh Darussalam mulai jelas kembali, kita bisa memperjuangkan untuk dipatenkan di tingkat pusat.
 
Kita harap pemerintah memperingati hari-hari penting dalam sejarah Aceh, bahkan hari-hari tersebut sepatutnya dijadikan hari besar untuk dirayakan setiap tahun secara luas. Selain itu, Aceh bukan hanya tentang sejarah kesultanan saja yang sudah menghilang, tetapi banyak juga tentang pribahasa Aceh yang benar, seperti bahasa bahasa Aceh kini mulai berubah ke Acehannya. Bahkan zaman sekarang ini, banyak pengurus bangsa di Aceh yang tidak mengerti bahasa Aceh.

Sejauh ini banyak elemen masyarakat yang berusaha untuk membangkitkan kembali tentang sejarah-sejarah di Aceh, namun tidak ada perhatian yang signifikan dari pihak terkait seperti Pemerintah. Seharusnya pemerintah melalui dinas terkait harus lebih peka terhadap sejarah, begitu juga dengan eksekutif dan legeslatif di Aceh. Bila ini diabaikan, maka sejarah Kesultanan Aceh akan hilang dan anak anak cucu kita ke depan.

Tuesday, March 12, 2013

SAMUDERA PASE RAYA

Samudera Pase Raya adalah sebuah kawasan di Aceh sebagai bagian dari sejarah Kerajaan Samudera Pasai yang berada di wilayah Aceh Utara, Bireuen dan Kota Lhokseumawe. Kawasan ini tergolong sebagai kawasan industri terbesar di provinsi Aceh dan juga tergolong industri terbesar di luar pulau Jawa, khususnya dengan dibukanya industri pengolahan gas alam cair PT. Arun LNG di Lhokseumawe pada tahun 1974. Di daerah wilayah ini juga terdapat pabrik-pabrik besar lainnya: Pabrik Kertas Kraft Aceh, pabrik Pupuk AAF (Aceh Asean Fertilizer) dan pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM).

Dalam sektor pertanian, daerah ini mempunyai unggulan reputasi sendiri sebagai penghasil beras yang sangat penting. maka secara keseluruhan Kabupaten Aceh Utara (dulunya merupakan Kabupaten induk dari Bireuen dan Lhokseumawe) merupakan daerah Tingkat II yang paling potensial di provinsi dan pendapatan per kapita di atas paras Rp. 1,4 juta tanpa migas atau Rp. 6 juta dengan migas.Ladang gas dan minyak ditemukan di Lhokseumawe, ibu kota Aceh Utara sekitar tahun 1970-an. Kemudian, Acehpun mulai didatangi para investor luar negeri yang tertarik pada sumber daya alamnya yang hebat.

Dengan berkembangnya Kabupaten Aceh Utara yang makin pesat, pada tahun 1986 dibentuklah Kotif (Kota Administratif) Lhokseumawe dengan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1986 yang membawahi 5 kecamatan. Dan berdasarkan Kep Mendagri Nomor 136.21-526 tanggal 24 Juni 1988 tentang pembentukan wilayah kerja pembantu Bupati Pidie dan Pembantu Bupati Aceh Utara dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, maka terbentuklah Pembantu Bupati Aceh Utara di Lhoksukon, sehingga pada saat ini Kabupaten Aceh Utara terdiri dari 2 Pembantu Bupati, 1 kota administratip, 26 wilayah kecamatan yaitu 23 kecamatan yang sudah ada ditambah dengan 3 kecamatan pemekaran baru.

Pada tahun 1999 Kabupaten Aceh Utara yang terdiri dari 26 Kecamatan dimekarkan lagi menjadi 30 kecamatan dengan menambah empat kecamatan baru berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1999.Seiring dengan pemekaran kecamatan baru tersebut, Aceh Utara harus merelakan hampir sepertiga wilayahnya untuk menjadi kabupaten baru, yaitu Kabuparten Bireuen berdasarkan Undang Undang nomor 48 tahun 1999. Wilayahnya mencakup bekas wilayah Pembantu Bupati di Bireuen. Kemudian pada Oktober 2001, tiga kecamatan dalam wilayah Aceh Utara, yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, dan Kecamatan Blang Mangat dijadikan Kota Lhokseumawe.

Wednesday, March 6, 2013

SEJARAH BITAI, NAMA KAMPUNG TURKI DI ACEH


*)  Gampoeng Turki Itu Bernama Bitai.

Banyak orang yang belum mengetahui bahwa di Gampoeng (desa) Bitai inilah saat itu bangsa dari Timur Tengah yaitu Turki datang ke Aceh. Nama ACEH sendiri adalah singkatan dari Arab (A), China (C), Eropa (E) dan Hindia (H). Bitai adalah sebuah desa/kelurahan di Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh. Sebelum terjadi Gempa Bumi dan Tsunami pada samudra Hindia 26 Desember 2004, penduduknya berjumlah 1.580 jiwa. Dari hasil sensus pasca tsunami diketahui jumlah penduduknya sekarang berjumlah 421 jiwa (2005). Desa Bitai dewasa ini sudah dibangun kembali dengan bantuan organisasi Palang Merah Turki yang membantu pembangunan rumah-rumah penduduk yang hancur diterpa oleh gelombang tsunami 26 Desember 2004 lalu serta bantuan negara Turki yang di fasilitasi juga dari kedutaan besar Turki di Jakarta dan dibuat rumah sebanyak 350 buah bagi warga yang selamat dari Gempa Bumi dan Tsunami yang sangat hebat di abad 21 ini dan diresmikan langsung oleh Wakil Perdana Menteri Turki yang datang ke Bitai Banda Aceh serta disaksikan oleh Gubernur Aceh. Pasca Tsunami maka desa Bitai tersebut kini dimasukan dalam kelurahan Kota Baru, kecamatan Kuta Alam kotamadya Banda Aceh dengan kodepos 23125. Desa Bitai juga diberikan nama jalan baru yaitu jalan Tengku Di Bitai. Kita ketahui sebenarnya Bitai adalah nama sebuah perkampungan yang ditempati para ulama Islam dari Pasai Pidie dan Ulama itu berasal dari Negara Baitul Muqdis/Baital Maqdis (Palestina) dan saat kejayaan peradapan Islam, Palestina masuk dalam wilayah kekaisaran kalifah Turki Usmani atau yang lebih terkenal dengan kekaisaran Rum dahulunya. 

*) Sejarah Gampoeng Bitai.


Kerajaan Rum berhasil takluk, Kekaisaran Romawi Timur atau Kekaisaran Bizantium (Bizantin, Byzantin, Byzantine) adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan Kekaisaran Romawi pada masa Zaman Pertengahan, berlokasi di sekitar ibukotanya di Konstantinopel atau kekaisaran kristen yang berhasil di taklukan oleh kekaisaran Islam Kalifah Turki Usmani. Nama Kota Konstantinopel akhirnya diganti menjadi Istambul pasca kemenangan pasukan Islam atas pasukan Kristen di benua Eropa.

Semula para ulama Turki bertujuan untuk mengajarkan agama Islam di Aceh dan pasantren, Perkembangan Islam di Bitai selanjutnya sangat maju karena banyak orang luar Aceh yang belajar untuk memperdalam agama Islam.

Bagi yang belajar di Aceh mengembangkan lagi di negaranya masing-masing. Maka semakin majulah perkembangan Islam masa itu. Raja-raja yang menganut agama Budha di Aceh akhirnya masuk Islam karena tidak diperbolehkan kepala Negara Budha pada saat itu.

Disamping mengembangkan agama Islam, para kepala Negara itu juga mengadakan kerja sama pada bidang ekonomi dan perdagangan serta menjalin hubungan yang baik pada masalah ketahanan Negara. Turki Membantu Aceh memberikan perlengkapan perang. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Salahuddin yaitu Sultan Aceh kedua yang mangkat pada tahun 1548 M, Beliau hanya memerintah 28 tahun tiga bulan. Masa pemerintahannya mempunyai agenda meningkatkan pendidikan dan hubungan kerja sama dengan Negara-negara lain seperti Turki, tanah melayu, Pakistan dan Arab Saudi. Raja dan keluarganya dari Turki dan masyarakat yang berada di negeri Kedah/melayu kini Malaysia umumnya beragama Islam dan akhirnya orang Turki tersebut pindah dan menikah dengan orang Aceh yang tinggal di Bitai. Pada saat wafatnya Raja/Sultan Salahuddin, orang Turki yang merupakan sahabatnya, memberikan wasiat bahwa pada saat meninggal dunia mereka minta dimakamkan saling berdekatan yaitu di Komplek Situs Makan Tuanku Di Bitai, Banda Aceh. Jumlah makam kuno di sekeliling makam Sultan Salahuddin secara keseluruhan lebih kurang 25 makam makam dari batu cadas berjumlah 7 makam serta makam dari batu sungai berjumlah 18 makam. Secara keseluruhan batu nisannya berbentuk segi delapan dan hiasannya bertuliskan kaligrafi dengan bahasa arab. Segi delapan mewujudkan delapan sahabat dari Aceh, Turki dan Saudi Arabia. Pada bagian bawah nisan terdapat pola luas tumpal, puncak nisan cembung diatasnya terdapat lingkaran sisi delapan.

Orang Turki tersebut yang pertama kali datang di Bitai, Banda Aceh itu bernama Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi atau lebih terkenal dengan nama Tengku Syieh Tuan Di Bitai. Nama Bitai diambil untuk mengenang asal orang Turki tersebut dari Palestina atau Bayt Al-Maqdis nama lain dari Yerussalem tempat Masjid Al-Aqsa berada yang kini di duduki oleh zionis Israel. Keturunan Tengku Di Bitai juga di makamkan di sekeliling makam Sultan Salahuddin dalam situs tanah wakaf dan terdapat mesjid kuno yang terbuat dari kayu dan sebagian di semen dindingnya. Pasca Tsunami masjid kuno tersebut mengalami kerusakan parah dan di bangun suatu masjid baru dengan motif ornamen Timur Tengah bergaya negara Turki dan ada juga sebuah museum tentang sejarah kedatangan Turki di Bitai Banda Aceh.

Komplek Makam Tengku Di Bitai dan Sultan Salahuddin ini sendiri terletak di tengah perkampungan desa Bitai dengan luas area 500 meter persegi. Desa Bitai berbarengan dengan emperoom yang sekarang dijadikan satu kawasan perkampungan Turki. Emperoom berasal dari kata emparium atau kerajaan/kekaisaran dahulunya, yang terkenal dengan emparium Romawi.

Anak laki-laki pertama dari keturunan Tengku Di Bitai ada 9 orang yang dimakamkan dalam makam khusus berbentuk kotak persegi empat, hanya satu yang dimakamkan di luar desa Bitai yakni di Lampoh Daya yang bernama Faqih Sri Raja Faqih bin Abdullah Tamim Ghazi, tetapi masih berbatasan langsung dengan desa Bitai hanya satu kilometer dari desa Bitai.

Berikut silsilah keturunan Turki:

1. Syakir Jundi Istambul Turkiya

2. Muhammad Jamil Ghazi bin Syakir Jundi Istambul Turkiya

3. Abdul Aziz Ghazi bin Muhammad Jamil

4. Saidam Ghazi bin Abdul Aziz Ghazi

5. Sirikhu Ghazi bin Saidam Ghazi

6. Muhammad Shaleh Ghazi bin Sirikhu Ghazi

7. Ilyas Ghazi bin Muhammad Shaleh Ghazi

8. Ishak Ghazi bin Ilyas Ghazi

9. Ahmad Ghazi bin Ishak Ghazi

10. Rustam Ghazi bin Ahmad Ghazi

11. Basyah Ghazi bin Rustam Ghazi

12. Rauf Ghazi bin Basyah Ghazi

13. Mustafa Ghazi bin Rauf Ghazi

14. Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi ( yang pertama datang ke Aceh / Bitai dan kemudian dikenal dengan nama Tengku Syieh Tuan Di Bitai)

15. Jalal Basyar Ghazi bin Muthablib Ghazi

16. Ismail Ghazi bin Jalal Basyar Ghazi

17. Harun Ghazi bin Ismail Ghazi

18. Abdul Jalal bin Harun Ghazi

19. Abdullah Tamim Ghazi bin Abdul Jalal Ghazi

20. Faqih Sri Raja Faqih bin Abdullah Tamim Ghazi

21. Syeik Abdurrahman bin Faqih Sri Raja Faqih

22. Syeik Ismail bin Syeik Abdurrahman

23. Tengku H. Abdul Aziz bin Syeik Ismail

24. Tengku H. Muhammad Juned bin Tengku H. Abdul Aziz

25. Tengku H. Razali bin Tengku H. Muhammad Juned.

Anak atau keturunan terakhir dari Tengku Di Bitai adalah Tengku H. Razali bin Tengku H. Muhammad Juned lebih dahulu wafad tahun1987 dibanding bapaknya Tengku H. Muhammad Juned bin Tengku H. Abdul Aziz yang wafad tahun 1990, beliau tidak dimakamkan di kotak persegi empat tersebut tetapi di depan mihrab masjid. Desa Bitai ini juga terkenal karena dahulu Sultan Iskandar Muda pernah menjadi murid Tengku Di Bitai dan bantuan-bantuan ahli-ahli persenjataan dari Turki untuk membantu kerajaan Aceh melawan penjajahan Belanda. Saat Belanda menginjak kakinya di bumi Aceh dan membakar masjid raya Baiturrahman Banda Aceh, sniper Aceh berhasil menembak dada kiri Jenderal Johan Harmen Rudolf (JHF) Kohler hingga tewas pada tanggal 14 April 1873. Dalam catatan sejarah perang Aceh 1873-1904 serta perlawanan 1904-1942 ada 4 orang Jenderal Belanda tewas di tembak oleh sniper Aceh hasil didikan ahli-ahli persenjataan dari Turki.

*) Makam Tengku Di Bitai.

Komplek makam kuno peninggalan Turki terletak berbarengan dengan komplek Tengku Di Bitai, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, Luas areal 500 m2. Komplek makam berada ditengah-tengah perkampungan dan disekitar makam itu terdapat mesjid kuno yang bangunannya mirip seperti bangunan Turki dengan status tanah wakaf.

Bitai adalah nama sebuah perkampungan yang ditempati para ulama Islam dari Pasai Pidie dan Ulama itu berasal dari Negara Baitul Muhadis dan Turki. Semula para ulama bertujuan untuk mengajarkan agama Islam di perguruan tinggi. Perkembangan Islam di Bitai sangat termasyur (maju) karena banyak orang luar Aceh yang belajar untuk memperdalam agama Islam.

Bagi yang belajar di Aceh mengembangkan lagi di negaran ya masing-masing. Maka semakin majulah perkembangan Islam masa itu. Raja-raja yang menganut agama Budha akhirnya masuk Islam karena tidak diperbolehkan kepala Negara Budha pada saat itu. Disamping mengembangkan agama Islam, para kepala Negara itu juga mengadakan kerja sama pada bidang ekonomi. (dagang) dan menjalin hubungan yang baik pada masalah ketahanan Negara.

Turki Membantu Aceh memberikan perlengkapan perang. Masa pemerintahan Sri Sultan Salahuddin yang mangkat pada tahun 1548 M, hanya memerintah 28 (Dua Puluh Delapan) tahun tiga bulan. Masa pemerintahannya mempunyai agenda meningkatkan pendidikan dan hubungan kerja sama dengan Negara-negara lain seperti Turki, tanah melayu, Pakistan dan Arab Saudi.

Raja dan keluarganya Turki dan masyarakat yang berada di negeri Kedah umumnya beragama Islam dan akhirnya orang Turki menikah dengan orang Aceh yang tinggal di Bitai. Pada saat wafatnya Raja Salahuddin, orang Turki yang merupakan sahabatnya, memberikan wasiat bahwa pada saat meninggal dunia mereka minta dimakamkan saling berdekatan yaitu di Komplek Situs Makan Tuanku Di Bitai.

Jumlah makam secara keseluruhan lebih kurang 20 (dua puluh) makam diklarifikasikan, makam dari batu cadas berjumlah 7 (tujuh) makam. Makam dari batu sungai berjumlah 18 (delapan belas) makam.

Secara keseluruhan batu nisanya berbentuk segi delapan dan hiasannya bertuliskan kaligrafi dengan bahasa arab. Segi delapan mewujudkan delapan sahabat dari Aceh, Tukri dan Saudi Arabia. Pada bagian bawah nisan terdapat pola luas tumpal, puncak nisan cembung diatasnya terdapat lingkaran sisi delapan.