Monday, February 25, 2013

MESJID DI BEURACAN, PIDIE JAYA

Mesjid Beuracan terletak di Desa Beuracan, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, yaitu di sisi jalan poros Sigli – Medan, dan dapat dijangkau dengan semua jenis kendaraan darat. Mesjid ini dibangun di atas tanah seluas 40 x 40 meter dengan status tanah wakaf. Pembangunan mesjid Beuracan dipelopori oleh Tgk. Abdussalim (Tgk. Dipucok Krueng/ Tgk. Dipasi). Ada 4 mesjid yg dibangun oleh Tgk. Abdussalim yaitu di meureudu terdapat tiga mesjid termasuk mesjid Beuracan, mesjid Batei dan mesjid Madinah sedangkan satu lagi terdapat di Lampoh Saka Kec. Mutiara timur Kab. Pidie (terdapat guci rumpong yang memiliki sejarah panjang).

Mesjid Beuracan dibangun oleh Tgk. Abdussalim pada tahun 1626 M pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh, Tgk Abdussalim berasal Arab. Ia datang melalui selat Malaka hingga sampai di daerah Meureudu bersama-sama dengan Tgk. Japakeh dan Malim Dagang, Tgk Abdussalim tinggal menetap di Pucok Krueng sehingga ia dikenal dengan nama Tgk Chik di Pocut Krueng. Tgk Japakeh menetap di Desa Meunasah Raya dan Malim Dagang menetap di Desa Manyang Cut. Tgk Abdussalim adalah seorang ulama, oleh karena itu, ia kemudian membangun mesjid sebagai pusat pengajaran agama Islam kepada masyarakat di sekitarnya.


Mesjid Beuracan beratap tumpang 3 dari bahan seng dan berdinding kayu dengan ukiran dekoratif motif Aceh serta sulur-suluran, dinding ini merupakan hasil pemugaran yang dilakukan oleh Muskala pada tahun 1990. Pada luar dinding terdapat teras yang dipisahkan oleh dinding tembok setinggii 95 cm dan tebal 26 cm, pada bagian depan atap teras terdapat ukiran sulur-suluran dengan kombinasi berbagai warna. Mesjid ini ditopang oleh 16 buah tiang sebagai soko guru yang berdiameter 52 cm yang menopang atap bagian atas, masing-masing tiang tersebut berbentuk segi delapan dan satu buah tiang di antaranya telah diganti dengan bentuk yang sama. Selain tiang soko guru masih terdapat 4 buah tiang gantung yang turut menopang atap bagian atas, dan lantainya terbuat dari semen ditambah gapu dan manisan. Sejak pemugaran yang dilakukan tahun 1947, 1952 dan 1990, maka mesjid tersebut telah diberi langit-langit dari papan. Lantai mesjid terbuat dari semen dan bata.


Pada sisi barat bangunan inti terdapat bagian yang menjorok keluar ynag difungsikan sebagai mihrab, unsur lain yang masih tersisa ialah adanya sebuah bedug yang terbuat dari kulit sapi dan batang pohon lontar. Menurut seorang informan bahwa kulit sapi yang digunakan bedug ini dan rotan yang digunakan sebagai pengikat telah diganti, adapun ukuran bedug itu adalah panjang 142 cm, diameter bagian atas 75 cm, diameter badan 67 cm, dan diameter dasar 51 cm. Peningalan lain yang tidak kalah penting adalah adanya sebuah tongkat yang seusia dengan bangunan mesjid ini, tongkat tersebut terbuat dari rotan. Bagian atas terbuat dari kuningan dan bagian bawah terbuat dari besi yang bentuknya menyerupai linggis dengan ukuran panjang 163 cm. Dan uniknya air di dalam guci tidak boleh diambil langsung oleh kaum hawa karena kadang dalam keadaan berhalangan kata Tgk. H. Muhammad Usman.

Tuesday, February 19, 2013

LAMNO DALAM SEBUAH RIWAYAT



Di hulu Krueng Daya dulu ada sebuah dusun yang dinamai Lhan Na, sekarang disebut LAMNO. Menurut H M Zainuddin dalam Tarich Aceh dan Nusantara (1961) penghuni dusun itu berasal dari Bangsa Lanun. Orang Aceh menyebutnya “lhan” atau bangsa Samang yang dating dari Semenanjung Malaka dan Hindia Belakang seperti Burma dan Campa. Kemudian ke hulu Krueng Daya itu juga datang orang-orang baru dari Aceh Besar, Pasai dan Poli (pidie).


Pada abad XV terjadi perang antara Raja Pidie dengan Raja Pasai. Perang itu disulut oleh Raja Nagor bekas petinggi di Pasai. Dalam perang itu Pasai Kalah, Sultan Haidar Bahian Sjah tewas. Raja Nagor kemudian memerintah Pasai (1417 M). Beberapa keturunan Raja Pasai kemudian melakukan perpindahan. Sampai kesuatu tempat mereka kelelahan tak berdaya melanjutkan perjalanan.

Mereka pun mendirikan negeri baru di daerah tersebut, negeri itu diberinama Daya untuk mengenang ketakberdayaan mereka melanjutkan perjalanan. Cerita yang sama juga disebutkan dalam sebuah dongeng.

Menurut H M Zainuddin (1961), dahulu kala sekelompok orang datang ke negeri itu dengan perahu, sampai di muara sungai perahu mereka kandas. Mereka semua turun untuk mendorong perahu tersebut, tapi perahu itu tetap kandas. Mereka tidak beradaya lalu turun dan membuka perkampungan di sekitar muara sungai itu. Mereka pun menamai daerah itu dengan sebutan Daya.

Suatu ketika Raja Daya dan pasukannya melakukan pemeriksaan ke hulu sungai. Sampai di sana mereka mendapati sebuah perkampungan yang dihuni oleh orang yang mirip dengan bangsa Lanun dari Malaka dan Hindia Belakang. Mereka disebut orang Lhan.

Orang orang Lhan ini merupakan penduduk asli di sana, yang kala itu masih suka mengenakan pakaian dari kulit kayu dan kulit bintang yang tipis. Karena sudah lama mendiami tempat itu maka disebutlah mereka sebagai orang “Lhan Kana” atau “Lhan Na” yang artinya orang Lhan sudah ada disitu. Lama kelamaan terjadi perubahan pengucapat dari “Lhan Kana” menjadi “Lam Na” dan seterusnya ketika Belanda masuk ke Aceh ucapannya menjadi “Lam No”.

Masih menurut H M Zainudin, berdasarkan keterangan T Radja Adian keturunan Uleebalang (Zelfbestuurder) pada tahun 1945 diceritakan, Negeri Daya pernah diperintah oleh Pahlawan Syah, seorang raja yang pernah berperang dengan Poteu Meureuhom. Pahlawan Syah yang dikenal dengan sebutan Raja Keuluang merupakan orang yang kebal terhadap senjata apa pun, ia tidak bias ditaklukkan. 

Ia orang yang sangat kuat. Kekuatannya itu diyakini masih menyisakan bekas berupa bekas tapak kakinya. Saat ia mencabut batang kelapa kakinya terbenam ke tanah. Tapak kaki itu disebut-sebut berada di Kuala Daya.

Disebut sebagai Raja Keuluang karena Pahlawan Syah berpostur tinggi besar, ketika dipanggil untuk menghadiri rapat (Meusapat) oleh Raja, peraturan yang diberikan Pahlawan Syah dan daerah yang dipimpinya selalu berbeda dengan daerah lain. Ia banyak mendapat keluangan, maka digelarlah dia Raja Keuluang. 

Negeri Keuluang itu terdiri dari Keuluang, Lam Besoe, Kuala Daya dan Kuala Unga. Raja Keuluang meninggal setelah berperang dengan Poteumeureuhom. Raja yang kebal senjata itu berhasil ditangkap ketika daerahnya ditaklukkan. Ia meninggal dalam ikatan rantai besi.

Masa pemerintahan Raja Keuluang atau Pahlawan Syah menurut pemeriksaan Controleur Vetner di calang pada tahun 1938, diperkirakan antara tahun 1500 M sampai 1505 M. seber lain adalah T R Adian, sebagaimana dikutip H M Zainuddin. Menurutnya, pertalian keluarga Raja Keuluang tersebar dari Tanoeh Abee Sagi XXII Mukim Seulimum, Krueng Sabe dekat Calang dan Negeri Bakongan, Aceh Selatan. “Kalau naskah ini serta keterangan T. R. Adian itu kita hubungkan dengan makam Sultan Ali Riayat Sjah atau Marhum Daya, jang menurut pemeriksaan Prof. Dr. Mussain Djajadiningrat, Marhum Daja meninggal dalam tahun 1508,” tulis H M Zainuddin dalam Tarich Aceh dan Nusantara (1961) .

Sementara lainnya, di Kuala Ungan dekat Daya ada satu kuburan raja yang mengkat pada tahun 1497, tapi belum jelas makam siapa apakah makam Marhum Unga atau Marhum Daya. Masih juga belum jelas apakah Marhung Unga itu adalah Pahlawan Syah yang disebut sebagai Raja Keuluang, anak raja Pasai yang pertama membuka Negeri Daya.

Kemudian datang Marhum Daja Sulthan Ali Riajat Sjah jang namanja Uzir, anak dari Sulthan Inajat Sjah ibnu Abdullah Al Malikul Mubin, jang bersaudara dengan Sulthan Muzaffar Sjah. Raja di Atjeh Besar dan bersaudara pula dengan Munawar Sjah Raja di Pidie. Diyakinkan negeri Keluang/Daja itu berdiri pada akhir abad ke XV oleh Marhum Unga, bias jadi juga dibangun oleh Marhum Daya.

Setelah Negeri Daya maju dengan berbagai hasil bumi, pada akhir abad ke XVI datang ke sana orang orang Portugis, Arab, Spanyol dan Tionghoa untuk membeli rempah-rempah. Setelah itu datang juga orang Belanda, Inggris dan Perancis. Malah sampai kini di Lam No terdapat keturunan Portugis.

Friday, February 15, 2013

MAKAM SULTAN ALAIDIN MAHMUDSYAH

 Sultan Alaiddin Mahmudsyahadalah Sultan Aceh yang kedua. Di masa beliau, Belanda menyerang Aceh pada tahun 1873. Pada tanggal 24 Januari 1874 Van Swieten masuk ke Istana Sultan dengan harapan akan menjumpai Sultan dan memaksanya menyerahkan kekuasaan kepada Belanda. Namun Sultan sudah duluan meninggalkan istana dan mengungsi ke Lueng Bata, Dalam pengungsiannya Sultan tetap memimpin penyerangan namun pada hari keempat pengungsiannya Sultan meninggal dunia karena kolera. Beliau dimakamkan di Pagar Ayer, namun situasi peperangan yang selalu berubah menyebabkan makamnya digali dan dipindahkan ke daerah aman. Hal ini terjadi beberapa kali sampai akhirnya beliau dimakamkan di desa Tumbo, Samahani, Aceh Besar.

Thursday, February 14, 2013

WILAYAH KEDAULATAN ACEH DI ERA SULTAN – SULTAN ACEH

 
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau, Sumatera Timur, hingga Perak di semenanjung Malaysia.

Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka, yang meliputi wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu, ketika dibawah kekuasaan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

*) Aceh melawan Portugis

Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka Kesultanan Malaka yang muncul dibawah Parameswara (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Afonso d'Albuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya.

*) Hubungan Aceh dengan Barat
**) Inggris

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

“ Sayalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam”.

Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

**) Perancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

**) Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayah Yang Mulia Ratu Beatrix.

**) Sultan Utsmaniyah

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Istanbul. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan Utsmaniyah, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Utsmaniyah mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.meriam tersebut menurut informasi kini berada di desa Blang Balok kecamatan peureulak
.

Tau kah anda siapa Aceh itu ?
Aceh tidak pernah berontak pada NKRI, karena sejarah mengatakan seperti itu.

Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dan media massa nasional, beberapa tahun sebelum terciptanya perdamaian di Nangroe Aceh Darussalam, kita sering mendengar istilah ‘pemberontakan rakyat Aceh’ atau ‘pemberontakan Aceh’ terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden penerusnya, sejumlah ‘kontingen’ pasukan dari berbagai daerah terutama dari Jawa dikirim ke Aceh untuk ‘memadamkan’ pemberontakan ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah ‘pemberontakan’ yang dilakukan Aceh terhadap NKRI. Namun tahukah kita bahwa istilah tersebut sesungguhnya bias dan kurang tepat? Karena sesungguhnya dan ini fakta sejarah bahwa Naggroe Aceh Darussalam sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, namun menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah ini, “berontak” dengan “menarik kesepakatan” merupakan dua hal yang sangat berbeda.

*) Aceh Sudah Berdaulat Sebelum NKRI Lahir

NKRI secara resmi baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan Nanggroe Aceh Darussalam sudah berabad-abad sebelumnya merdeka, memiliki hukum kenegaraan Qanun-nya sendiri, menjalin persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan pernah menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Tuki Utsmaniyah.

Jadi, bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan Budha Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru merdeka di abad ke -20 ?

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan negara berdaulat yang sama sekali tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda pernah dua kali mengirimkan pasukannya dalam jumlah yang amat besar untuk menyerang dan menundukkan Aceh, namun keduanya menemui kegagalan, walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-pusat negerinya.

Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada rakyat Aceh adalah mempertahankan marwah, harga diri dan martabat, Aceh Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang bernafaskan Islam.

Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak rakyat Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Sudah ratusan tahun, berabad-abad Kerajaan Aceh Darussalam berdiri dengan tegak bahkan diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai “Negara” yang merdeka dan berdaulat.

Istilah “Indonesia” sendiri baru saja lahir di abad ke-19. Jika diumpamakan dengan manusia, maka Aceh Darussalam adalah seorang manusia dewasa yang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, dan mandiri, sedang “Indonesia” masih berupa jabang bayi yang untuk makan sendiri saja belum lah mampu melakukannya.

Banyak literatur sejarah juga lazim menyebut orang Aceh sebagai “Rakyat Aceh”, tapi tidak pernah menyebut hal yang sama untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah menyebut orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai rakyat Kalimantan, dan sebagainya. Yang ada hanya rakyat Aceh. Karena Aceh sendari dulu memang sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat.

Monday, February 11, 2013

SEJARAH KABUPATEN ACEH JAYA

 Kabupaten Aceh Jaya dahulu merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Barat dan terletak di wilayah pantai barat Provinsi Aceh. Mula dibangun oleh Sultan Saidil Mukawil (1588-1604 M) lalu dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dengan mendatangkan orang-orang dari Aceh Besar dan Pidie. Dari Gunung Geurute sampai daerah Singkil dan Kepulauan Simeulue ini dibagi menjadi enam yaitu:

1. Meulaboh dengan ibukotanya Meulaboh.
2. Tjalang, dengan ibukotanya Tjalang (sebelum tahun 1910 ibukotanya adalah Lhok Kruet). Landschapnya meliputi Keulueng, Kuala Daya, Lambeusoi, Kuala Unga, Lhok Kruet, Patek, Lageun, Rigaih, Krueng Sabee, dan Teunom.
3. Tapak Tuan dengan ibukotanya Tapak Tuan
4. Simeulue dengan ibukotanya Sinabang.
5. Zuid Atjeh dengan ibukotanya Bakongan
6. Singkil dengan ibukotanya Singkil

Setelah Indonesia merdeka, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Sumatera Utara, Wilayah Barat dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Selatan. Kabupaten Aceh Barat terdiri dari 3 wilayah, yaitu Meulaboh, Calang, dan Simeulue.

Wilayah Calang menjadi daerah otonom setelah memekarkan diri dari kabupaten induk menjadi Kabupaten Aceh Jaya berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 dan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2002. Wilayah administratif Kabupaten Aceh Jaya terdiri dari atas 6 kecamatan; Kecamatan Teunom, Panga, Krueng Sabee, Setia Bakti, Sampoiniet, dan Jaya. Kabupaten Aceh Jaya memilki luas 3.627 km2 dengan iklim tropis yang hangat dan lembab.

Tuesday, February 5, 2013

TARI RATEB MEUSEUKAT

Tari Ratéb Meuseukat merupakan salah satu tarian Aceh yang berasal dari Aceh. Nama Ratéb Meuseukat berasal dari bahasa Arab yaitu ratéb asal kata ratib artinya ibadat dan meuseukat asal kata sakat yang berarti diam.

Diberitakan bahwa tari Ratéb Meuseukat ini diciptakan gerak dan gayanya oleh anak Teungku Abdurrahim alias Habib Seunagan (Nagan Raya), sedangkan syair atau ratéb-nya diciptakan oleh Teungku Chik di Kala, seorang ulama di Seunagan, yang hidup pada abad ke XIX. Isi dan kandungan syairnya terdiri dari sanjungan dan puji-pujian kepada Allah dan sanjungan kepada Nabi, dimainkan oleh sejumlah perempuan dengan pakaian adat Aceh. Tari ini banyak berkembang di Meudang Ara Rumoh Baro di kabupaten Aceh Barat Daya.


Pada mulanya Ratéb Meuseukat dimainkan sesudah selesai mengaji pelajaran agama malam hari, dan juga hal ini tidak terlepas sebagai media dakwah. Permainannya dilakukan dalam posisi duduk dan berdiri. Pada akhirnya juga permainan Ratéb Meuseukat itu dipertunjukkan juga pada upacara agama dan hari-hari besar, upacara perkawinan dan lain-lainnya yang tidak bertentangan dengan agama.


Saat ini, tari ini merupakan tari yang paling terkenal di Indonesia dan Manca Negara. Hal ini dikarenakan keindahan, kedinamisan dan kecepatan gerakannya. Tari ini sangat sering disalahartikan sebagai tari Saman milik suku Gayo. Padahal antara kedua tari ini terdapat perbedaan yang sangat jelas. Perbedaan utama antara tari Ratéb Meuseukat dengan tari Saman ada 3 yaitu, pertama tari Saman menggunakan bahasa Gayo, sedangkan tari Ratéb Meuseukat menggunakan bahasa Aceh. Kedua, tari Saman dibawakan oleh laki-laki, sedangkan tari Ratéb Meuseukat dibawakan oleh perempuan. Ketiga, tari Saman tidak diiringi oleh alat musik, sedangkan tari Ratéb Meuseukat diiringi oleh alat musik, yaitu rapa’i dan geundrang.

Saturday, February 2, 2013

ABUYA JAMALUDDIN WALI

Aura kharismatik memancar terang pada sosok ulama ini. Wajahnya mirip Abuya Profesor Haji Muhibbudin Waly, ulama besar di Aceh. Ia adalah adik Abuya Muhibbudin Waly, anak dari Abuya Syeikh Haji Muda Waly Al Khalidy, pendiri Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan. Seperti diketahui, setelah Abuya Syeikh Muda Waly Al Khalidy wafat, kepemimpinan Dayah Darussalam Labuhan Haji, dayah tertua di Aceh, dilanjutkan oleh Abuya Muhibbudin Waly hingga beliau wafat pada 7 Maret 2012.


Selain Rais Am Dayah Darussalam Labuhan Haji, Abuya Jamaluddin Waly dipercayakan menjadi Mursyidul Am (Pembimbing Umum) tarekat Naqsyabandiyah se Aceh. Di mana, sebelumnya Abuya Jamaluddin Waly sudah melibatkan diri dalam tarekat tersebut. Yang pertama mengembangkan tarekat Naqsyabandiyah di Aceh adalah almarhum Syeikh Muda Waly Al Khalidy dari tahun 1940-an. Menurut Abuya Jamaluddin Waly, di Aceh berkembangan tiga tarekat yaitu Naqsyabandiyah, Syattariyah dan Hadadiyah. “Ketiga tarekat itu diakui sah oleh pemerintah dan diamalkan se Indonesia,” katanya. Begitulah Abuya Jamaluddin Waly, ulama kharismatik yang melanjutkan pengembangan tarekat Naqsyabandiyah.