Thursday, April 18, 2013

GAMPONG PANDE

Nama Kampung Pande ditemukan di Hikayat Pocut Muhammad yang disusun pada awal abad ke-18 Masehi. Seperti ditulis Karel F.H van Langen yang berjudul Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, terbitan tahun 1986, Kampung Pande sudah dikenal sebagai tempat pengrajin benda logam dan batu-batu mulia. Mungkin karena itu pula dinamakan Kampung Pande.

Kampung ini tak hanya menjadi sebuah sejarah kejayaan masa lalu, namun menjadi tolak ukur untuk anak cucu kita menciptakan sejarah dimasa akan datang. Pejuang Aceh dulu sudah sangat berjasa dalam menata kehidupan di bumi Aceh ini, mereka telah rela menumpahkan darahnya demi marwah bangsa. Namun sangat disayangkan jika generasi penerus bangsa ini melupakan jasa-jasa para leluhur. Gampong ini bahkan telah tergerus oleh abrasi laut. Sangat disayangkan, sebuah bukti sejarah kejayaan Aceh harus hilang dan dilupakan oleh anak cucunya. Padahal Kampung Pande yang merupakan salah satu kampung tua , yang dapat dijadikan laboratorium bagi sejarah perkembangan kota Banda Aceh. Tak lama lagi semua situs sejarah disana akan lenyap tak tersisah. Akan kah kita menginginkan hal itu terjadi.

Friday, April 12, 2013

ACEH BISA GUGAT BELANDA KE MAHKAMAH INTERNASIONAL ATAS AGRESI MILITER DI ACEH PADA TAHUN 1873

Aceh adalah sebuah negara berdaulat yang pertama mengakui kemerdekaan Belanda pada tahun 1602 sebagai satu entitas politik. Namun pengakuan tersebut dibalas Belanda dengan menyatakan maklumat perang terhadap Aceh pada 1873, menyisakan kesengsaraaan meskipun Aceh tidak pernah takluk dari Belanda. Ungkap Batara (KKUB)

Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara R Hutagalun
g mengatakan rakyat Aceh dapat menggugat dan menuntut Pemerintah Belanda ke Mahkamah Internasional atas agresi Belanda terhadap Aceh pada 1873. Akibat agresi itu sekitar 70 ribu rakyat Aceh meninggal, dan menyisakan kesengsaraaan meskipun Aceh tidak pernah takluk dari Belanda.
 

“Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 1873 dan sejak itulah terjadi kejahatan dan penindasan yang membuat banyak terjadi pembantaian penduduk sipil. Belanda harus resmi minta maaf kepada rakyat Aceh atas agresi militer tersebut,” kata Batara seusai menjadi pembicara pada Seminar Kejanggalan dalam Hubungan Diplomatik RI-Belanda dalam Perspektif Nasional dan Lokal yang diselenggarakan Prodi Sejarah FKIP Unsyiah di aula kampus setempat.

Menurut Batara pengajuan gugatan tersebut dinilai penting sebagai bagian dari upaya mengangkat martabat rakyat Aceh yang secara langsung mengalami penindasan dari Belanda selama masa penjajahan.

Dia sebutkan Belanda secara jelas telah melakukan pelanggaran teritorial dimana saat itu Aceh merupakan satu negara yang berdaulat, yang ditandai dengan adanya hubungan diplomatik yang intens dengan Belanda dan negara lainnya.

Bahkan, kata Batara, Aceh adalah sebuah negara berdaulat yang pertama mengakui kemerdekaan Belanda pada tahun 1602 sebagai satu entitas politik. Namun pengakuan tersebut dibalas Belanda dengan menyatakan maklumat perang terhadap Aceh pada 1873 yang hingga kini belum pernah dicabut Belanda.

Tapi sekarang bukan soal kompensasi lagi yang dicari. Tapi yang kita tuntutan walau satu rupiah adalah dilakukan secara simbolis. Belanda harus resmi minta maaf kepada rakyat Aceh atas agresi militer tersebut,” tegas Batara.

Sejarawan Aceh Siap Mendukung Gugat Belanda.

Sampai saat ini maklumat perang belanda terhadap Aceh belum dicabut. Sejak awal memang Aceh sudah banyak berjasa kepada Belanda, karena Aceh yang pertama mengakui kemerdekaan Belanda. Tapi air susu dibalas air tuba.

* Rusdi Sufi, Sejarawan Aceh

Monday, April 1, 2013

SEJARAH SERANGAN DI LUENG BATA

Kecamatan Lueng Bata, Kota Banda Aceh dikenal memiliki sederet sejarah perjuangan dan ulama pada masa penjajahan Belanda, bahkan Sultan sempat diungsikan dari Keraton pada waktu serangan Belanda menempur pasukan Aceh di Masjid Raya Baiturrahman. Tanggal 1 Januari 1875, disinilah sejarah itu berawal saat pasukan marsose Belanda yang di bawah komando Wilhelmus van Nassauwe, anak buah dari pimpinan Kolonel Pel menyusun strategi untuk menggempur pejuang Aceh di bawah pimpinan Tgk Imum Lueng Bata, dan sahabatnya Panglima Polem serta Tuanku Hasyim yang ingin menguasai semua daerah di Kutaraja untuk diduduki oleh Belanda.
Lebih kurang 1000 orang pasukan Belanda sejak pagi buta sudah berangkat dari Keraton ke arah Lueng Bata, sedangkan sebagian lainnya berangkat pantai Ulee Lheue dengan tujuan akhir akan menyerang Lueng Bata secara bersamaan. Namun, naas menimpa pasukan Belanda disepanjang perjalanan mereka telah dihadang oleh beberapa pejuang Aceh yang berani mati dengan menggunakan kelewang dan bambu runcing membunuh setiap pasukan yang dapat mereka bunuh.