Abdul Rauf Singkel, yang bernama panjang Syeh Abdul Rauf bin Ali al-Fansuri al-Singkili, lahir di Fansur, lalu dibesarkan di Singkil pada awal abad ke-17 M. Ayahnya adalah Syeh Ali Fansuri, yang masih bersaudara dengan Syeh Hamzah Fansuri. A. Rinkes memperkirakan bahwa Abdul Rauf lahir pada tahun 1615 M. Ini didasarkan perhitungan, ketika Abdul Rauf kembali dari Mekah, usianya antara 25 dan 30 tahun (lihat Abdul Hadi WM, 2006: 241). Namun, Abdul Hadi WM (2006) menyatakan bahwa perkiraan itu bisa meleset, karena Abdul Rauf berada di Mekah sekitar 19 tahun, dan kembali ke Aceh pada 1661. Bila dalam usia 30 tahun ia kembali dari Mekah, berarti ia dilahirkan pada 1630.
Selama sekitar 19 tahun menghimpun ilmu di Timur Tengah, Abdul Rauf tidak hanya belajar di Mekah saja. Ia juga mempelajari ilmu keagamaan dan tasawuf di bawah bimbingan guru-guru yang termasyhur di Madinah. Di kota ini, ia belajar kepada khalifah (pengganti) dari tarekat Syattariyah, yaitu Ahmad Kusyasyi dan penggantinya, Mula Ibrahim Kurani (Braginsky, 1998: 474). Dalam kata penutup salah satu karya tasawufnya, Abdul Rauf menyebutkan guru-gurunya. Data yang cukup lengkap tentang pendidikan dan tradisi pengajaran yang diwarisinya ini merupakan data pertama tentang pewarisan sufisme di kalangan para sufi Melayu. Ia juga menyebutkan beberapa kota Yaman (Zabit, Moha, Bait al-Fakih, dan lain-lain), Doha di Semenanjung Qatar, Madinah, Mekah, dan Lohor di India. Di samping itu, ia juga menyebutkan daftar 11 tarekat sufi yang diamalkannya, antara lain Syattariyah, Kadiriyah, Kubrawiyah, Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah (Braginsky, 1998: 474).
Sepeninggal Ahmad Kusyasyi, Abdul Rauf memperoleh izin dari Mula Ibrahim Kurani untuk mendirikan sebuah sekolah di Aceh. Sejak 1661 hingga hampir 30 tahun berikutnya, Abdul Rauf mengajar di Aceh. Liaw Yock Fang (1975) menyebutkan bahwa muridnya ramai sekali dan datang dari seluruh penjuru Nusantara. Dan, karena pandangan-pandangan keagamaannya sejalan dengan pandangan Sultan Taj al-‘Alam Safiatun Riayat Syah binti Iskandar Muda (1645-1675), Abdul Rauf kemudian diangkat menjadi Syeikh Jamiah al-Rahman dan mufti atau kadi dengan sebutan Malik al-Adil, menggantikan Syeh Saif al-Rijal yang wafat tidak lama setelah ia kembali ke Aceh (Abdul Hadi WM, 2006: 241-242). Selain itu, ia juga bersikap keras terhadap orang-orang yang menolak berkuasanya seorang raja perempuan (lihat Mat Piah et.al, 2002: 61).
Walaupun disibukkan oleh tugas mengajar dan pemerintahan, Abdul Rauf masih sempat menulis berbagai karya intelektual dan juga karya sastra berbentuk syair—banyak di antaranya yang masih tersimpan sampai sekarang.
Mulanya, ketika dititahkan oleh Sultanah untuk menulis Mir‘at al-Tullab pada 1672, ia tidak bersedia karena merasa kurang menguasai bahasa Melayu setelah lama bermukim di Haramayn (Arab Saudi). Tetapi setelah mempertimbangkan masak-masak perlunya kitab semacam ini ditulis dalam bahasa Melayu, ia pun mengerjakannya, dengan dibantu oleh dua orang sabahat (Zalila Sharif dan Jamilah Haji Ahmad dalam Abdul hadi WM, 2006: 243). Oman Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat bahwa karyanya tidak kurang dari 36 kitab berkenaan dengan fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Qur‘an dan hadis.
Pengaruh Abdul Rauf juga mencapai umat Islam di Jawa. Braginsky (1998) menyebutkan bahwa Abdul Rauf pernah berkunjung ke Banten. Sedangkan Liaw Yock Fang (1975) menyebutkan bahwa salah satu karya Abdul Rauf dikutip dalam sebuah risalah sufi yang terkenal di Jawa. Sementara itu, tarekat Syattariyah, yang juga banyak penganutnya di Jawa, membubuhkan nama Abdul Rauf dalam silsilah para sufi besar penganut tarekat tersebut. Sehingga, Abdul Rauf jelas dikenal oleh orang-orang Jawa yang menganutnya.
Barangkali yang paling diingat orang tentang Abdul Rauf adalah bahwa ia berpenting sekali dalam menengahi silang pendapat antara Nuruddin al-Raniri dan Hamzah Fansuri tentang aliran wujudiyyah. Braginsky (1998) telah menguraikan pendekatan Abdul Rauf yang lebih sejuk dan damai terhadap aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri tersebut.
Ketika wafat pada tahun 1693, Abdul Rauf dimakamkan di muara sebuah sungai di Aceh, di samping makam Teuku Anjong yang dikeramatkan oleh orang Aceh (Abdul Hadi WM, 2006: 246), sehingga ia dikenal juga sebagai Syeh Kuala atau Tengku di Kuala (Liaw Yock Fang, 1975: 198).
A. Pemikiran
1. Tasawuf
Dalam banyak tulisannya, Abdul Rauf Singkel menekankan tentang transendensi Tuhan di atas makhluk ciptaan-Nya. Ia menyanggah pandangan wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam makhluk ciptaan-Nya. Dalam karyanya yang berjudul Kifayat al-Muhtajin, Abdul Rauf berpendapat bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam semesta, Dia menciptakan Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad inilah Tuhan kemudian menciptakan permanent archetypes (al-a‘yan al-kharijiyyah), yaitu alam semesta yang potensial, yang menjadi sumber bagi exterior archetypes (al-a‘yan al-kharijiyyah), bentuk konkret makluk ciptaan. Selanjutnya, Abdul Rauf menyimpulkan bahwa walaupun a‘yan al-kharijiyyah adalah emanasi (pancaran) dari Wujud Yang Mutlak, ia tetap berbeda dari Tuhan. Abdul Rauf mengumpamakan perbedaan ini dengan tangan dan bayangannya. Walaupun tangan sangat sukar untuk dipisahkan dari banyangannya, tetapi bayangan itu bukanlah tangan yang sebenarnya (lihat Azyumardi Azra dalam Osman, 1997: 174).
Secara umum, Abdul Rauf ingin mengajarkan harmoni antara syariat dan sufisme. Dalam karya-karyanya ia menyatakan bahwa tasawuf harus bekerjasama dengan syariat. Hanya dengan kepatuhan yang total terhadap syariat-lah maka seorang pencari di jalan sufi dapat memperoleh pengalaman hakikat yang sejati. Pendekatannya ini tentu saja berbeda dari pendekatan Nuruddin al-Raniri yang tanpa kompromi. Abdul Rauf cenderung memilih jalan yang lebih damai dan sejuk dalam berinteraksi dengan aliran wujudiyyah. Maka, walaupun ia menentang aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri itu, ia tidak menyatakannya secara terbuka. Lagipula, ia juga tidak setuju dengan cara-cara radikal yang ditempuh oleh Nuruddin (lihat Azyumardi Azra dalam Osman, 1997: 174).
Menariknya, dalam karya-karyanya ia tidak menyebut Nuruddin al-Raniri, yang karya-karyanya mungkin sekali telah dikenalinya, tetapi seolah-olah mengisyaratkan peristiwa tragis yang pernah terjadi, melalui kutipan sebuah hadis: “Jangan sampai terjadi seorang muslim menyebut muslim lain sebagai kafir. Karena jika ia berbuat demikian, dan memang demikianlah kenyataannya, lalu apakah manfaatnya. Sedangkan jika ia salah menuduh, maka tuduhan ini akan dibalikkan melawan ia sendiri” (Johns dalam Braginsky, 1998: 476).
Dengan caranya yang lebih damai ini, ia dapat menahan berkembangnya heterodoksi dalam Islam yang disebabkan oleh tafsir yang kurang tepat terhadap ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani (Abdul Hadi WM, 2006: 241).
Penekanannya tentang pentingnya syariat dalam tasawuf muncul dalam Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bagi Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf). Di dalam kitab ini, Abdul Rauf menguraikan masalah zikir. Zikir adalah dasar dari tasawuf dan karena itu merupakan metode yang penting dalam disiplin kerohanian sufi. Abdul Rauf membagi zikir menjadi dua, yaitu zikr hasanah dan zikir darajat. Zikir yang pertama tidak mengikuti aturan tertentu, sedangkan zikir yang kedua terikat aturan yang ketat (Abdul Hadi WM, 2006: 241).
Zikir darajat dilakukan setelah seseorang bertobat, kemudian menjalani upacara tertentu seperti duduk bersila menyilangkan dua kaki dan berpakaian bersih, menghadap kiblat, memilih tempat yang gelap agar dapat berkonsentrasi dan memejamkan mata. Setelah itu ia mulai berzikir, mengucapkan kalimat la ilaha Illa Allah. Kalimat ini dibaca dengan irama tertentu sambil menggoyang-goyangkan kepala. Zikir dilakukan dengan nafas teratur, lidah menyentuh langit-langit bagian belakang, sembari mengucapkan kalimat la ilaha Illa Allah dengan pikiran. Biasanya 24 kalimat itu diucapkan baru nafas dihela (Abdul Hadi WM, 2006: 244).
Abdul Rauf mengajarkan dua metode zikir, yaitu zikir keras (jabr) dan zikir pelan (sirr). Zikir keras dimulai dengan zikir nafiy (pengingkaran) dan isbat (penegasan), yaitu mengucap la ilaha Illa Allah berulangkali. Zikir ini mengandung penegasan untuk mengingkari selain Tuhan dan peneguhan bahwa satu-satunya Tuhan adalah Allah Ta‘ala. Ini dapat dibaca juga dalam Syair Perahu. Di samping itu terdapat zikir gaib dengan mengucap Hu Allah dan zikir penyaksian (al-syahadah) dengan mengucapkan Allah, Allah. Zikir pelan dilakukan dengan nafas teratur, dengan membayangkan kalimat la ilaha saat menghela nafas dan illa Allah saat menarik nafas ke dalam hati. Tujuan zikir ini adalah pemusatan diri, bukan untuk membayangkan kehadiran gambar Tuhan seperti dalam praktik Yoga Pranayama (Abdul Hadi WM, 2006: 244-245).
Semua ajaran tasawuf didasarkan pada gagasan sentral Islam yang sama, yaitu tauhid, tetapi para sufi mempunyai beragam cara dalam menafsirkannya. Dasar pandangan Abdul Rauf tentang tauhid antara lain tertera dalam kitab Tanbih al-Masyi. Ia mengajarkan agar murid-muridnya senantiasa mengesakan al-Haq (Yang Maha Benar) dan menyucikan-Nya dari hal-hal yang tidak layak baginya, yaitu dengan mengucap la ilaha Illa Allah. Kalimat ini mengandung empat tingkatan tauhid. Pertama, penegasan penghilangan sifat dan perbuatan pada diri yang tidak layak disandang Allah. Tiga tingkatan tauhid berikutnya adalah uluhiya, yaitu mengesakan ketuhanan Allah, sifat, yaitu mengesakan sifat-sifat Allah, dan zat, mengesakan Zat Tuhan (Othman Mohd. Isa dalam Abdul Hadi WM, 2006: 245-246).
Menurut Abdul Rauf, “Salah satu bukti keesaan Allah SWT adalah tidak rusaknya alam. Allah berfirman, ‘Sekiranya di langit dan di bumi ini ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak dan binasa‘.” Berangkat dari pengetahuan inilah kemudian ia membicarakan hubungan ontologis atau kewujudan antara Pencipta dan ciptaan-ciptaan-Nya, antara Yang Satu dan “yang banyak”, antara al-wujud dan al-maujudat. Alam adalah wujud yang terikat pada sifat-sifat mumkinat atau serba mungkin. Oleh karena itu alam disebut sebagai sesuatu selain al-Haq (Oman Fathurrahman dalam Abdul Hadi WM, 2006: 246).
2. Syariat
Abdul Rauf Singkel juga menulis kitab dalam bidang syariat. Yang terpenting adalah Mirat al-Turab fi Tashil Ma‘rifah al-Ahkam al-Syar‘iyyah li al-Malik al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara‘ dari Tuhan, bahasa Melayu). Kitab ini merupakan kitab Melayu terlengkap yang membicarakan syariat. Sejak terbit, kitab ini menjadi rujukan para kadi atau hakim di wilayah Kesultanan Aceh. Dalam kitabnya ini, Abdul Rauf tidak membicarakan fikih ibadat, melainkan tiga cabang ilmu hukum Islam dari mazhab Syafii, yaitu hukum mengenai perdagangan dan undang-undang sipil atau kewarganegaraan, hukum perkawinan, dan hukum tentang jinayat atau kejahatan (Ali Hasmy dalam Abdul Hadi WM, 2006: 243).
Bidang pertama termasuk fikih muamalah dan mencakup urusan jual beli, hukum riba, kemitraan dalam berdagang, perdagangan buah-buahan, sayuran, utang-piutang, hak milik atau harta anak kecil, sewa menyewa, wakaf, hukum barang hilang, dan lain-lain. Bidang yang berkaitan dengan perkawinan mencakup soal nikah, wali, upacara perkawinan, hukum talak, rujuk, fasah, nafkah, dan lain-lain. Sedangkan jinayat mencakup hukuman pemberontakan, perampokan, pencurian, perbuatan zinah, hukum membunuh, dan lain-lain (Ali Hasmy dalam Abdul Hadi WM, 2006: 243).
3. Tafsir
Dalam bidang tafsir, Abdul Rauf menghasilkan karya berjudul Tarjuman al-Mustafid. Pada hakikatnya, karya ini merupakan terjemahan Melayu dari kitab tafsir yang lain, yaitu tafsir al-Jalalain. Karya ini diselesaikan oleh muridnya, Daud Rumi, dan beberapa pengarang belakangan lainnya, dengan mengambil agak banyak bagian dari tafsir al-Baidawi dan al-Kazin (Riddel dalam Braginsky, 1998: 275). Walaupun kitab ini tergolong sebagai tafsir, tetapi Braginsky (1998) menganggapnya sebagai terjemahan lengkap Al-Qur‘an dalam bahasa Melayu yang pertama, yang seperti lazimnya berbentuk sebagai tafsir dan bukan karangan eksegesis yang rinci.
4. Sastra
Walaupun kuatrin terpisah-pisah, yang tidak lain merupakan bait-bait syair, terkadang terdapat dalam Bustan as-Salatin karya Nuruddin al-Raniri, tetapi penerus tradisi penulisan “syair religius-mistik” adalah Abdul Rauf Singkel. Braginsky (1998: 491-484) telah membahas syair-syair tesebut dan menyimpulkan bahwa dalam syair-syairnya, Abdul Rauf Singkel menegaskan tentang Sifat Kekekalan (Kadim) Tuhan di satu pihak, dan sifat kemakhlukan (muhadas) manusia di pihak lain, yang menyebabkan adanya perbedaan mutlak di antara keduanya. Jadi, karya sastra Abdul Rauf yang berupa syair ini masih memiliki hubungan yang sangat erat dengan keyakinan tasawufnya.
Dalam sebuah naskah yang disalin di Bukit Tinggi pada 1859, diberitakan bahwa Abdul Rauf-lah yang telah mengarang Syair Makrifat. Dalam syair ini, dibahas tentang empat komponen agama Islam, yaitu iman, Islam, tauhid, dan makrifat, dan tentang makrifat sebagai pengenalan sufi yang memahkotai keempat komponen itu. Syair ini juga menegaskan bahwa hanya orang yang paham akan makna semuanya yang layak disebut sebagai orang yang telah menganut agama yang sempurna.
B. Karya
Oman Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat tidak kurang dari 36 kitab berkenaan dengan fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Qur‘an dan hadis, di antaranya adalah:
1.Daka‘ik al-Huruf (Kehalusan-kehalusan Huruf), dikutip dalam al-Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi, risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa.
2.Tafsir Baidhawi (terjemahan, 1884, diterbitkan di Istambul).
3.Mirat al-Turab fi Tashil Ma‘rifah al-Ahkam al-Syar‘iyyah li al-Malik al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara‘ dari Tuhan, bahasa Melayu).
4.Umdat al-muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bai Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf).
5.Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi (Pedoman bagi Penempuh Tarekat al-Qusyasyi, bahasa Arab).
6.Bayan al-Arkan (Penjelasan tentang Rukun-rukun Islam, bahasa Melayu).
7.Bidayah al-Baligah (Permulaan yang Sempurna, bahasa Melayu).
8.Sullam al-Mustafiddin (Tangga Setiap Orang yang Mencari Faedah, bahasa Melayu).
9.Piagam tentang Zikir (bahasa Melayu).
10.Tarjuman al-Mustafid bi al-Jawy.
11.Syarh Latif ‘Ala Arba‘ Hadisan li al-Imam al-Nawawiy (Penjelasan Terperinci atas Kitab empat Puluh Hadis Karangan Imam Nawawi, bahasa Melayu).
12.Al-Mawa‘iz al-Ba‘diah (Petuah-petuah Berharga, bahasa Melayu).
13.Kifayat al-Muhtajin.
14.Bayan Tajilli (Penjelasan tentang Konsep Manifestasi Tuhan).
15.Syair Makrifat.
16.Al-Tareqat al-Syattariyah (Untuk Memahami jalan Syattariyah).
17.Majmu al-Masa‘il (Himpunan Petranyaan).
18.Syam al-Ma‘rifat (Matahari Penciptaan).
C. Pengaruh
Syeh Abdul Rauf Singkel memiliki banyak murid yang tersebar di kepulauan Nusantara. Dua muridnya juga masyhur, yaitu Syeh Jamaluddin al-Tursani dan Syeh Yusuf al-Makasari. Jamaluddin al-Tursani adalah seorang ahli hukum ketatanegaraan terkenal dan pernah menjadi Kadi Malik al-Adil di istana Aceh pada awal abad ke-18 M. Ia terkenal berkat karya hukum ketatanegaraannya yang komprehensif, Syafinat al Hukam (Bahtera Para Hakim), yang merupakan perluasan baik terhadap Taj al-Salatin maupun Bustan al-Salatin. Sedangkan Syeh Yusuf al-Makasari adalah seorang ulama dari Makassar. Ulama inilah yang mendampingi Sultan Ageng Tirtayasa dalam perjuangannya melawan kolonialisme Belanda (Abdul Hadi WM, 2006: 246).
Pada saat Abdul Rauf menjadi mufti, Aceh adalah kesultanan yang sangat penting di dunia Melayu karena menjadi tempat persinggahan para jemaah haji. Orang dari Jawa dan daerah lain di Indonesia yang pergi naik haji, harus singgah di Aceh. Sewaktu di Aceh, tidak sedikit pula dari jemaah haji belajar agama dan ilmu tasawuf kepada Abdul Rauf (A.H. Johns dalam Liaw Yock Fang, 1975: 197). Mungkin inilah sebabnya tarekat Syattariyah agak populer di Jawa dan nama Abdul Rauf sering disebut dalam silsilah tarekat tersebut. Sebuah karangan Abdul Rauf, yaitu Dakai‘ik al-Huruf, dikutip dalam al-Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi, sebuah risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa (Liaw Yock Fang, 1975: 197).
Bersama dengan Nuruddin al-Raniri, Abdul Rauf Singkel menunjukkan bahwa Islam, sebagaimana yang dipraktekkan di Asia Tenggara, adalah bagian dari pasang surut gagasan dan praktek religius dan mistisisme di dunia. Gagasan dan praktek ini berakar pada Al-Qur‘an dan kehidupan komunitas Islam awal, tetapi kemudian berkembang ke berbagai arah yang berbeda-beda. Perdebatan yang terjadi di Aceh, dan juga di dunia Melayu pada umumnya, tidak bersifat unik bagi daerah ini saja, karena telah muncul juga di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Menurut Piah dkk (2002), Aceh menangkap gagasan dan praktek-praktek ini dan mengeskpresikannya dengan cara yang rumit dan menantang bagi kaum Muslim yang memahami keimanan mereka melalui medium bahasa Melayu.