PERANG yang dilancarkan Belanda di Aceh sejak dideklarasikan
pada 26 Maret 1873, disebut-sebut sebagai perang terlama dan terbanyak
menguras kantong Belanda untuk membiayai perang. Pernyataan itu
disampaikan oleh sejumlah penulis Belanda sendiri.
Dalam buku Perang Kolonial Belanda di Aceh yang diterbitkan
tahun 1977, dimunculkan kutipan dari sejumlah peneliti Belanda. Beberapa
diantaranya memuji kepahlawanan orang Aceh dalam menghadapi invasi
Belanda. Berikut petikannya.
Penulis Belanda H.C. Zentgraaff dalam bukunya yang masyur, Atjeh, menulis:
“Yang sebenarnya ialah bahwa orang-orang Aceh, baik pria maupun
wanita, pada umumnya telah berjuang dengan gigih sekali untuk sesuatu
yang mereka pandang sebagai kepentingan nasional atau agama mereka. Di
antara pejuang-pejuang itu terdapat banyak sekali pria dan wanita yang
menjadi kebanggaan setiap bangsa; mereka itu tidak kalah gagahnya
daripada tokoh-tokoh perang terkenal kita”.
Pada halaman lain buku yang sama, Zentgraff menambahkan;
“Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur
di setiap pelosok kepulauan kita ini kita mendengar bahwa tidak ada satu
bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali
bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan
berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.”
Pada halaman 100 buku Atjeh, Zentgraff menulis;
“Demikianlah berakhir kehidupan Teungku di Barat dan ulama-ulama
termasyhur lainnya di daerah itu yang lebih menyukai “mati
syahid”daripada “melaporkan diri” (menyerah-kalah kepada lawan)… dan
adakah satu bangsa di permukaan bumi ini yang tidak akan menulis di
dalam buku-buku sejarahnya mengenai gugurnya tokoh-tokoh heroik dengan
penghargaan yang setinggi-tingginya?.”
Penulis Belanda yang lain, A.Doup, dalam buku berjudul Gedenkboek van het Korps Marechaussee 1890—1940 (Mengenang Korps Marsose) yang terbit tahun 1942, pada halaman 248 menulis;
“Kepahlawanan orang Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dan
bumi persadanya, seperti yang diperagakannya selama perang Belanda di
Aceh menimbulkan rasa hormat pada pihak marsose serta kekagumannya akan
keberanian, kerelaan gugur di medan juang, pengorbanannya dan daya
tahannya yang tinggi. Orang Aceh tidak habis-habis akalnya dalam
menciptakan dan melaksanakan siasat perang yang murni asli, sementara
daya pengamatannya sangat tajam. Ia mengamat-amati dengan cermat setiap
gerak-gerik pemimpin brigade, dan ia tahu benar pemimpin-pemimpin
brigade mana yang melakukan patroli dengan ceroboh serta mana pula yang
selalu siap siaga dan berbaris secara teratur).”
Masih ada lagi komentar dari Paul van’t Veer dalam bukunya De
Atjeh-Oorlog (Perang Aceh) yang terbit tahun 1969. Buku ini adalah salah
satu buku yang kerap menjadi rujukan ketika menulis Perang Belanda di
Aceh. Pada halaman 293, Paul menulis;
“Perang Belanda di Aceh tidak berakhir pada tahun 1913 atau 1914.
Dari tahun 1914 terentang seutas benang merah ke tahun 1942, sebuah
jejak pembunuhan dan pemukulan sampai mati, dari perlawanan di bawah
sampai ke atas tanah yang menyebar luas sedemikian rupa dari tahun-tahun
1925 sampai tahun 1927 dan kemudian lagi dalam tahun 1933 sehingga
kemudian terjelmalah pemberontakan-pemberontakan setempat. Puluhan
“pembunuhan Aceh” yang terjadi di antara tahun-tahun itu cukup diketahui
di seluruh Hindia Belanda. Pada masa-masa belakangan ini disadari bahwa
benang merah itu menjurus dari tahun 1914 ke tahun 1942 sehingga
sejarahnya sejak tahun 1873 sampai dengan tahun 1942, yakni saat orang
orang Belanda meninggalkan daerah Aceh untuk selama-lamanya, harus
dianggap sebagai sebuah perang Belanda yang besar di Aceh atau boleh
juga disebut sebagai sebuah deret, terdiri dari empat atau lima buah
peperangan Belanda di Aceh yang berbagai-bagai sifatnya.”
Masih dalam buku yang sama, pada halaman 301, Paul menambahkan;
“Aceh adalah daerah terakhir yang ditaklukkan oleh Belanda dan
merupakan daerah pertama yang terlepas dari kekuasaannya. Kepergian
Belanda dari sana pada tahun 1942 adalah saat terakhir ia berada di bumi
Aceh. Selama 69 tahun, Belanda tak henti-hentinya bertempur di Aceh dan
ini sudah lebih daripada cukup.”
Sementara Pierre Heijboer, dalam buku Klamboes, Klewangs, Klapperbomen, yang terbit tahun 1977 pada halaman 137 menulis;
“Orang-orang Aceh ternyata bukan saja pejuang-pejuang yang
fanatik, akan tetapi mereka juga tergolong pembangun kubu-kubu
pertahanan yang ulung sekali.” []
No comments:
Post a Comment