Mesjid
Beuracan terletak di Desa Beuracan, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie
Jaya, yaitu di sisi jalan poros Sigli – Medan, dan dapat dijangkau
dengan semua jenis kendaraan darat. Mesjid ini dibangun di atas tanah
seluas 40 x 40 meter dengan status tanah wakaf. Pembangunan mesjid
Beuracan dipelopori oleh Tgk. Abdussalim (Tgk. Dipucok Krueng/ Tgk.
Dipasi). Ada 4 mesjid yg dibangun oleh
Tgk. Abdussalim yaitu di meureudu terdapat tiga mesjid termasuk mesjid
Beuracan, mesjid Batei dan mesjid Madinah sedangkan satu lagi terdapat
di Lampoh Saka Kec. Mutiara timur Kab. Pidie (terdapat guci rumpong yang
memiliki sejarah panjang).
Mesjid Beuracan dibangun oleh Tgk. Abdussalim pada tahun 1626 M pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh, Tgk Abdussalim berasal Arab. Ia datang melalui selat Malaka hingga sampai di daerah Meureudu bersama-sama dengan Tgk. Japakeh dan Malim Dagang, Tgk Abdussalim tinggal menetap di Pucok Krueng sehingga ia dikenal dengan nama Tgk Chik di Pocut Krueng. Tgk Japakeh menetap di Desa Meunasah Raya dan Malim Dagang menetap di Desa Manyang Cut. Tgk Abdussalim adalah seorang ulama, oleh karena itu, ia kemudian membangun mesjid sebagai pusat pengajaran agama Islam kepada masyarakat di sekitarnya.
Mesjid Beuracan beratap tumpang 3 dari bahan seng dan berdinding kayu dengan ukiran dekoratif motif Aceh serta sulur-suluran, dinding ini merupakan hasil pemugaran yang dilakukan oleh Muskala pada tahun 1990. Pada luar dinding terdapat teras yang dipisahkan oleh dinding tembok setinggii 95 cm dan tebal 26 cm, pada bagian depan atap teras terdapat ukiran sulur-suluran dengan kombinasi berbagai warna. Mesjid ini ditopang oleh 16 buah tiang sebagai soko guru yang berdiameter 52 cm yang menopang atap bagian atas, masing-masing tiang tersebut berbentuk segi delapan dan satu buah tiang di antaranya telah diganti dengan bentuk yang sama. Selain tiang soko guru masih terdapat 4 buah tiang gantung yang turut menopang atap bagian atas, dan lantainya terbuat dari semen ditambah gapu dan manisan. Sejak pemugaran yang dilakukan tahun 1947, 1952 dan 1990, maka mesjid tersebut telah diberi langit-langit dari papan. Lantai mesjid terbuat dari semen dan bata.
Pada sisi barat bangunan inti terdapat bagian yang menjorok keluar ynag difungsikan sebagai mihrab, unsur lain yang masih tersisa ialah adanya sebuah bedug yang terbuat dari kulit sapi dan batang pohon lontar. Menurut seorang informan bahwa kulit sapi yang digunakan bedug ini dan rotan yang digunakan sebagai pengikat telah diganti, adapun ukuran bedug itu adalah panjang 142 cm, diameter bagian atas 75 cm, diameter badan 67 cm, dan diameter dasar 51 cm. Peningalan lain yang tidak kalah penting adalah adanya sebuah tongkat yang seusia dengan bangunan mesjid ini, tongkat tersebut terbuat dari rotan. Bagian atas terbuat dari kuningan dan bagian bawah terbuat dari besi yang bentuknya menyerupai linggis dengan ukuran panjang 163 cm. Dan uniknya air di dalam guci tidak boleh diambil langsung oleh kaum hawa karena kadang dalam keadaan berhalangan kata Tgk. H. Muhammad Usman.
Mesjid Beuracan dibangun oleh Tgk. Abdussalim pada tahun 1626 M pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh, Tgk Abdussalim berasal Arab. Ia datang melalui selat Malaka hingga sampai di daerah Meureudu bersama-sama dengan Tgk. Japakeh dan Malim Dagang, Tgk Abdussalim tinggal menetap di Pucok Krueng sehingga ia dikenal dengan nama Tgk Chik di Pocut Krueng. Tgk Japakeh menetap di Desa Meunasah Raya dan Malim Dagang menetap di Desa Manyang Cut. Tgk Abdussalim adalah seorang ulama, oleh karena itu, ia kemudian membangun mesjid sebagai pusat pengajaran agama Islam kepada masyarakat di sekitarnya.
Mesjid Beuracan beratap tumpang 3 dari bahan seng dan berdinding kayu dengan ukiran dekoratif motif Aceh serta sulur-suluran, dinding ini merupakan hasil pemugaran yang dilakukan oleh Muskala pada tahun 1990. Pada luar dinding terdapat teras yang dipisahkan oleh dinding tembok setinggii 95 cm dan tebal 26 cm, pada bagian depan atap teras terdapat ukiran sulur-suluran dengan kombinasi berbagai warna. Mesjid ini ditopang oleh 16 buah tiang sebagai soko guru yang berdiameter 52 cm yang menopang atap bagian atas, masing-masing tiang tersebut berbentuk segi delapan dan satu buah tiang di antaranya telah diganti dengan bentuk yang sama. Selain tiang soko guru masih terdapat 4 buah tiang gantung yang turut menopang atap bagian atas, dan lantainya terbuat dari semen ditambah gapu dan manisan. Sejak pemugaran yang dilakukan tahun 1947, 1952 dan 1990, maka mesjid tersebut telah diberi langit-langit dari papan. Lantai mesjid terbuat dari semen dan bata.
Pada sisi barat bangunan inti terdapat bagian yang menjorok keluar ynag difungsikan sebagai mihrab, unsur lain yang masih tersisa ialah adanya sebuah bedug yang terbuat dari kulit sapi dan batang pohon lontar. Menurut seorang informan bahwa kulit sapi yang digunakan bedug ini dan rotan yang digunakan sebagai pengikat telah diganti, adapun ukuran bedug itu adalah panjang 142 cm, diameter bagian atas 75 cm, diameter badan 67 cm, dan diameter dasar 51 cm. Peningalan lain yang tidak kalah penting adalah adanya sebuah tongkat yang seusia dengan bangunan mesjid ini, tongkat tersebut terbuat dari rotan. Bagian atas terbuat dari kuningan dan bagian bawah terbuat dari besi yang bentuknya menyerupai linggis dengan ukuran panjang 163 cm. Dan uniknya air di dalam guci tidak boleh diambil langsung oleh kaum hawa karena kadang dalam keadaan berhalangan kata Tgk. H. Muhammad Usman.