GAYO adalah etnis yang mendiami
dataran tinggi di Aceh dan merupakan daerah yang kaya akan hasil alam. sedikit
saya jelaskan kenapa saat ini ada anggapan bahwa orang Gayo di sebut-sebut
bukan orang Aceh padahal Gayo itu sendiri berada di Aceh? ini merupakan politik
adudomba yang pernah di terapkan oleh penjajah belanda untuk memecah belah aceh
sama halnya seperti yang di terapkan belanda terhadap rakyat Pidie yang juga di
katakan bukan orang Aceh, dan ternyata politik tersebut berhasil melekat
samapai masa penjajahan berakhir. namun tentu saja kita tidak mengharapkan
pepecahan di Aceh yang kita cintai ini. Kembali kepada topik kita tentang
bagaimana dengan asal mula penamaan kata "GAYO"? ada beberapa versi
yang mengungkapkan tentang asal mula kata Gayo yang masing-masing versi
memiliki alasan tersendiri dan tentu saja nantinya kita akan menilai bersama-sama
manakah teory yang lebih sesuai/cocok dengan masyarakat gayo itu sendiri.
Berikut adalah beberapa versi tersebut:
Ada sebuah tulisan dari seorang saudara dari etnis Aceh yang menyebutkan penamaan 'Gayo' itu berasal dari bahasa Aceh 'Kayo', yang artinya 'sudah takut'. Saudara ini mengambil kesimpulan seperti ini berdasarkan atas kemiripan semantik antara 'Gayo' dan 'Kayo'. Berdasarkan kemiripan pengucapan kata ini si saudara ini menyimpulkan kurang lebih bahwa alasan kenapa saat ini orang Gayo tinggal di gunung adalah karena perasaan ketakutan orang Gayo terhadap orang Aceh. Menurut ini mengatakan bahwa orang Gayo pada awalnya tinggal di pesisir lalu pindah ke pegunungan karena terdesak oleh kedatangan orang suku Aceh. Teori ini cukup masuk akal, karena memang biasanya kebudayaan yang lebih tua selalu terdesak oleh yang lebih baru.
Jadi sekilas memang tidak ada yang salah dengan teori ini. Cuma masalahnya, lari akibat ketakutan ini bukanlah satu-satunya teori yang bisa menjelaskan alasan kenapa orang tinggal di gunung. Ada beberapa alasan lain yang menyebabkan orang tinggal di gunung. Salah satunya adalah karena di gunung tanahnya lebih subur dan lebih cocok untuk bertani. Dalam masyarakat agraris yang tinggal di pulau subur dalam kebudayaan apapun di belahan dunia manapun, masyarakat agraris selalu lebih suka tinggal di tempat yang subur dan memiliki banyak persediaan air dan itu adalah gunung. Karena itu dalam berbagai kebudayaan agraris bagian yang paling maju peradabannya itu justru yang di wilayah pegunungan.
pola seperti ini juga bisa kita
lihat berkembang di pulau-pulau subur di karibia, entah itu Kuba, Jamaika dan
pulau- pulau subur lain sebelum kedatangan orang eropa. Pola yang lebih jelas
lagi bisa kita lihat di Amerika Selatan. Peradaban paling maju di seluruh
Amerika Selatan sebelum kedatangan orang eropa adalah peradaban orang-orang
Quechua yang tinggal di Gunung, dalam peradaban ini kelompok yang paling
terhormat dan paling tinggi kedudukannya dalam masyarakat itu tinggal di tempat
yang paling tinggi, karena itulah Machu Picchu kota Spektakuler tempat tinggal
para raja Quechua yang disebut INCA bersama keluarganya, dibangun di tempat
tertinggi di daerah itu
1. Apakah alasan orang Gayo tinggal di gunung karena ketakutan (Kayo) seperti halnya orang Tengger yang takut akan kedatangan islam sebagai mana di tulis oleh seorang saudara saya dari etnis Aceh?
2.
Apakah orang Gayo tinggal di gunung adalah karena Gayo masyarakat agraris yang
lebih suka tinggal di tempat subur seperti orang Bali, atau yang lebih ekstrim
lagi?
3.
Jangan-jangan Orang Gayo tinggal di Gunung justru karena merasa diri lebih
tinggi dari orang suku Aceh seperti para Inca di Peru sana?
Kita
uji kemungkinan pertama, orang Gayo tinggal di gunung karena ketakutan (Kayo) :
Teori ini banyak mengandung kejanggalan. Yang paling janggal dari teori ini adalah fakta bahwa pada masa lalu, Gunung itu justru jauh lebih menakutkan dibandingkan wilayah pesisir. Saat itu wilayah pegunungan di Aceh masih dipenuhi hutan Rimba. Pada masa itu Harimau Sumatra baik dalam jumlah maupun keganasan bisa dikatakan sedang 'lucu-lucunya'. Di zaman itu, Harimau Sumatra adalah raja rimba dalam arti yang sesungguhnya. jadi orang-orang yang pergi dan tinggal di gunung pada masa itu adalah orang-orang yang berani menghadapi resiko serangan harimau , Jadi sangatlah janggal jika ada teori yang mengatakan orang Gayo yang berani menantang Harimau dikatakan tinggal di gunung karena KAYO, alias karena ketakutan.
Keanehan
lain dari teori ini adalah, tidak adanya satu hal atau event penting apapun
yang membuat orang Gayo harus lari dari pesisir, tidak seperti orang Tengger
yang lari karena tidak mau memeluk Islam, ketika Orang Aceh menjadi Islam,
orang Gayo juga ikut memeluk Islam.
Jadi dari pembuktian ini sebenarnya
orang Gayo tinggal di gunung karena memang gunung tempat terbaik untuk bertani,
namun untuk tinggal di sana sangatlah beresiko sehingga hanya orang Aceh yang
paling beranilah yang bisa tinggal di gunung, sebaliknya orang suku Aceh
memilih tinggal dan bertani di pesisir yang kurang subur adalah karena orang
suku Aceh tidak berani mengambil resiko tinggal di tempat subur tapi harus setiap
hari berurusan dengan Harimau. Bahkan bisa jadi Orang Gayo tinggal di gunung
karena merasa dirinya lebih tinggi dari suku Aceh seperti para Inca dalam
masyarakat Quechua yang tinggal di pegunungan karena kemampuan dan kebudayaan
mereka yang sudah tinggi.
Namun berani dan takut bukanlah
suatu teory yang absah dalam perpindahan penduduk, bukan hanya begitu saja
pengujian yang dapat kita lakukan mengapa orang gayo tinggal di gunung dan
orang aceh tinggal di pesisir, adapun alasan lain kenapa orang suku Gayo
tinggal di gunung adalah karena orang Gayo suka Bertani sehingga mereka mencari
lahan subur di pegunungan dan suku aceh tinggal di pesisir juga di pengaruhi
karena mereka lebih suka berdagang dan tempat yang baik untuk berdagang adalah
di pesisir yang dekat dengan pelabuhan.
Berdasarkan fakta-fakta yang saya
uraikan ini alasan yang paling mungkin kenapa orang suku Aceh memilih tinggal
di pesisir adalah semata karena Orang suku Aceh memang tidak terlalu tertarik
pada tempat yang subur. Perbedaan karakter yang saling mengisi inilah yang dulu
membentuk Aceh sebagai Bangsa. Perbedaan karakter antara suku Gayo dan suku
Aceh saling mengisi untuk membangun kejayaan Aceh Darussalam di masa lalu. Jadi
kalau Objektifitas yang kita kedepankan, bukan Subjektifitas yang mengagungkan
kehebatan suku sendiri, yang paling masuk akal dari ketiga teori itu adalah
teori nomer dua.
"Orang Gayo tinggal di gunung
adalah karena Gayo masyarakat agraris yang lebih suka tinggal di tempat
subur".
Kebenaran teori ini juga didukung oleh fakta yang masih bisa kita saksikan sampai hari ini, yaitu adanya kebiasaan orang Gayo yang tetap berlangsung sampai hari ini yang senang menjual kebun yang sudah jadi dan sudah digarap bertahun-tahun kepada orang jawa lalu orang Gayo si mantan pemilik lahan itu sendiri memilih membuat kebun baru dengan membuka hutan untuk mendapatkan lahan yang lebih subur. Karena kebiasaan seperti inilah di Gayo muncul istilah ' Gayo tukang tebang, Jewe berempus wan belang, Acih mujegei simpang'. Artinya, Orang Gayo tukang tebang (membuka hutan), Orang Jawa berkebun di ladang (yang dulunya adalah Hutan yang dibuka oleh orang Gayo), orang suku Aceh menunggui Simpang (persimpangan jalan).
Dari ungkapan ini bisa kita lihat kalau orang Gayo memang lebih suka mencari tantangan baru daripada menggarap lahan yang tidak lagi subur, sementara orang Jawa sebaliknya lebih suka mencari aman dengan menggarap lahan yang sudah jadi, meskipun tidak terlalu subur dan orang Aceh daripada bertani lebih suka tinggal di persimpangan yang banyak dilewati orang, berdagang menyediakan kebutuhan orang-orang yang bertani itu, baik orang Gayo maupun Jawa.