Panglima
Polem bernama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa
Muhammad Daud adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Republik
Indonesia yang berasal dari Aceh. Sampai saat ini belum ditemukan
keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahiran Panglima
Polem, yang jelas ia berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya
bernama Panglima Polem VIII Raj
a Kuala
anak dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga
terkenal dengan Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin
merupakan. Panglima Sagoe XXII Mukim Aceh Besar.
Panglima
Polem pernah meninggalkan sebuah catatan pengalaman perjuangannya yang
mengisahkan bagaimana kesetiaan Aceh terhadap negara Republik Indonesia.
Catatan yang diberi judul “Memoir” yang ditulis sendiri Panglima Polem,
dalam kata pengantarnya disebutkan, “uraiyan dalam Memoir ini
berdasarkan pengalaman yang saya kerjakan, yang saya lihat, saya dengar,
saya alami, ataupun berdasarkan laporan-laporan di masa lampau”.
Catatan Memoir Panglima Polem ini lama sekali terbekukan dalam bentuk
tensilan, tidak ada yang membukukan secara sempurna. Padahal Memoir
Panglima Polem ini adalah suatu catatan sejarah yang sangat berharga dan
penting diketahui oleh setiap anak bangsa di negeri ini, karena dalam
catatan Memoir ini kita akan memahami bagaimana setianya rakyat Aceh
terhadap Republik Indonesia.
Kita bersyukur, akhirnya catatan
Memoir Panglima Polem yang sangat berharga ini kemudian dibukukan dengan
judul “Teuku Muhammad Ali Panglima Polim: Sumbangsih Aceh Bagi Bagi
Republik”. Memoir yang disunting oleh Dr. Teuku Muhammad Isa,MPH,MA dan
diterbitkan oleh Pusataka Sinar Harapan Jakarta, tahun. 1996 ini, memang
sangat menarik untuk difahami isinya. Menariknya bukan saja kerana
lika-liku perjuangan Panglima Polem yang telah mengabdikan hampir
seluruh hidupnya kepada Republik Indonesia, tapi dengan Memoir yang
telah dibukukan ini kita akan mengatahui sejarah bagaimana kesetiaan
rakyat Aceh terhadap Republik yang bernama Indonesia.
Sebelum
penyerangan dilakukan, Panglima Polem sempat memberikan pidato singkat
kepada rakyat Seulimum yang akan ikut dalam gerakan pemberontakan
terhadap Belanda. “Pemberotakan ini adalah pemberontakan perang mengisir
Belanda musuh kita, dan ini adalah perang suci. Oleh sebab itu dalam
perang ini perlu dijaga norma-norma kesopanan menurut petunjuk agama,
jangan melewati batas, jangan membunuh wanita, anak-anak dan orang tua,”
kata Panglima Polem dalam pidatonya ketika itu.
Maka tepatnya
tengah malam 24 Pebruari 1942 penyaerangan dilakukan, Belanda kalang
kabut, seorang Controleur Belanda bernama Tigerman yang bertugus di Pos
Kolonial Seulimum terbunuh dalam pemberontakan itu. Esok harinya
langsung tersiar berita keseluruh Aceh bahwa Panglima Polem sudah
melakukan pemberontakan terhadap Belanda di Seulimum, Aceh Besar.
Sebagai putra bangsa yang setia pada perjuangan kemerdekaan Panglima
Polem juga tak tinggal diam pada masa pendudukan Jepang di Aceh.
Meskipun posisinya sebagai Kosai Kyokutyo (Kepala Urusan Kesejahteraan
Rakyat) Pemerintahan Jepang waktu itu, Panglima Polem tatap saja
berjuang memonitor perkembangan perjuangan kemerdekaan.
Sampai
suatu hari tepatnya 23 Agustus 1945, Panglima Polem bersama T.Nyak Arif
dan Tgk. Muhammad Daud Beureueh dipanggil Tyokang (Kepala Pemerintahan
Sipil Jepang untuk Aceh) memberi tahu bahwa Jepang sedang berdamai
dengan sekutu, karena dijatuhkannya bom atom di Hirosyima. Dari
pemberitahuan itu sebenarnya Panglima Polem, T.Nyak Arif dan Daud
Beureueh sudah tahu bahwa Jepang sudah menyerah kalah.
Ketika
Presiden Sukarno berkunjung ke Aceh bulan Juni 1948, Sukarno atas nama
rakyat Indonesia dalam sebuah pidato jamuan malam di Hotel Aceh dengan
sejumlah pengusaha Aceh, waktu itu GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia
Daerah Aceh), Presiden Sukarno tidak segan-segan meminta rakyar Aceh
untuk dapat membelikan sebuah pesawat udara untuk kepentingan
pemerintahan Indonesia yang baru merdeka. “Saya belum mau makan malam
sebelum ada jawaban pasti ‘ya’ atau ‘tidak’ dari saudara-saudara,” kata
Presiden Sukarno diakhir pidatonya malam itu. Maksudnya, Sukarno ingin
sebuah jawaban yang jelas dari rakyat Aceh untuk menyanggupi memberikan
sebuah pesawat udara untuk kepentingan perjuangan Indonesia yang baru
merdeka.
Dalam hal ini lagi-lagi Panglima Polem diuji
kesetiannya kepada Republik Indonesia. Tanpa basa-basi atas nama GASIDA
Panglima Polem mengabulkan permintaan Presiden Sukarno untuk
menyumbangkan sebuah pesawat terbang kepada pemerintah Republik
Indonesia.
Sayangnya, meskipun Panglima Polem salah seorang
putra bangsa Aceh terbaik di Indonesia yang telah mengabdikan hampir
seluruh hidupnya untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun di
hari-hari tuanya, nasip Panglima Polim sungguh menyedihkan. Beliau
difitnah dan kemudian dijebloskan ke dalam penjara Republik tercinta,
penjara negara yang ia perjuangkan kemerdekaannya. Panglima Polem
diringkus dalam tahanan Cipinang, Jakarta, atas Surat Perintah Penguasa
Perang A.H. Nasution tahun 1958. Padahal Panglima Polem saat itu masih
menjabat sebagai penasehat khusus Dr. Idham Khalid, Wakil Perdana
Menteri II Bidang Keamanan Republik Indonesia ketika itu.
Di
tengah duka nestapa itulah akhirnya Panglima Polem menghembuskan nafas
terakhir, kembali kehadhirat Ilahi Rabbi, 6 Januari 1974. Sungguh sebuah
kesetiaan pengabdian yang diberikan kepada negara, tapi kesetiaan
Panglima Polem terhadap negara yang ia perjuangkan kemerdekaannya,
difitnah oleh negaranya sendiri.