Tapaktuan, banyak orang teringat taluak, nama
lain sebutan Ibukota Kabupaten Aceh Selatan yang didiami mayoritas suku
“aneuk jamee”. Tapaktuan terletak di pesisir selatan Aceh yang dapat
ditempuh melalui jalan darat dari Banda
Aceh-Medan. Di kota inilah, terdapat satu bangunan masjid yang tergolong
tua. Masyarakat di sana menamakan Masjid Tuo. Tuo, barasal dari bahasa
Minang yang berarti tua.
Masjid Tuo, masih tetap difungsikan sebagai sarana ibadah salat berjamaah setiap waktu dan menyelenggarakan salat Jumat. Pada bulan Ramadan seperti tahun ini, ratusan jamaah melaksanakan salat tarawih bersama. Selain tempat rutinitas beribadah, masjid yang tampak bercorak tradisional itu, juga dijadikan tempat pengajian Al-Quran bagi anak-anak yang dikelola oleh TPA Al-Khairiyah Tapaktuan.
Menurut Imam Masjid Tuo Al-Khairiyah Tapaktuan Ustad A. Nasriza, masjid ini dibangun lebih dari seratus tahun lalu oleh pedagang rempah-rempah yang berlayar dari Padang. Pada masa itu, Taluak atau Teluk, disinggahi banyak saudagar kaya yang berdagang di pesisir pantai barat-selatan Aceh.
Uniknya, tidak ada satu paku pun pada pembuatan bangunannya, tetapi semua dipahat atau dipasak. Memang, perputaran zaman dan dinamika masyarakat dan jamaahnya yang semakin banyak dari hari ke hari, maka bangunan masjid mau tidak mau tetap berubah. Di samping kiri kanan telah dibuat teras. Dan, di sisi kiri sudah ditambah bangunan yang dapat melebarkan pelatarannya.
Di dalam Masjid Tuo, tersimpan sebuah benda sejarah yang berfungsi banyak pada masa lalu. Karya anak Taluak, berupa beduk besar tersebut sering dipamerkan pada ajang pameran benda bersejarah seperti pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Di bagian luar beduk dari kayu bulat berdiameter lebih dari 200 cm itu bertuliskan "hasil karya putra Tapaktuan". Sayang, beduk tersebut tidak difungsikan lagi. Padahal, pada bulan-bulan Ramadan, beduk itu bisa dijadikan sebagai tanda berbuka puasa pengganti sirene, paling tidak untuk masyarakat di sekitarnya.
Menurut penuturan Imam Masjid A. Nasriza, banyak orang yang niat untuk dapat shalat di masjid ini. Bahkan, Syech Muda Waly Al-Khalidi (seorang ulama besar pendiri pondok Pesantren Darussalam Labuhan Haji), di waktu muda selalu menyempatkan shalat di masjid yang terletak semula di bibir pantai Teluk Tapaktuan itu. "Hal itu sering pula diikuti oleh anak-anak almarhum," ujar A. Nasriza.
Masjid Tuo, masih tetap difungsikan sebagai sarana ibadah salat berjamaah setiap waktu dan menyelenggarakan salat Jumat. Pada bulan Ramadan seperti tahun ini, ratusan jamaah melaksanakan salat tarawih bersama. Selain tempat rutinitas beribadah, masjid yang tampak bercorak tradisional itu, juga dijadikan tempat pengajian Al-Quran bagi anak-anak yang dikelola oleh TPA Al-Khairiyah Tapaktuan.
Menurut Imam Masjid Tuo Al-Khairiyah Tapaktuan Ustad A. Nasriza, masjid ini dibangun lebih dari seratus tahun lalu oleh pedagang rempah-rempah yang berlayar dari Padang. Pada masa itu, Taluak atau Teluk, disinggahi banyak saudagar kaya yang berdagang di pesisir pantai barat-selatan Aceh.
Uniknya, tidak ada satu paku pun pada pembuatan bangunannya, tetapi semua dipahat atau dipasak. Memang, perputaran zaman dan dinamika masyarakat dan jamaahnya yang semakin banyak dari hari ke hari, maka bangunan masjid mau tidak mau tetap berubah. Di samping kiri kanan telah dibuat teras. Dan, di sisi kiri sudah ditambah bangunan yang dapat melebarkan pelatarannya.
Di dalam Masjid Tuo, tersimpan sebuah benda sejarah yang berfungsi banyak pada masa lalu. Karya anak Taluak, berupa beduk besar tersebut sering dipamerkan pada ajang pameran benda bersejarah seperti pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Di bagian luar beduk dari kayu bulat berdiameter lebih dari 200 cm itu bertuliskan "hasil karya putra Tapaktuan". Sayang, beduk tersebut tidak difungsikan lagi. Padahal, pada bulan-bulan Ramadan, beduk itu bisa dijadikan sebagai tanda berbuka puasa pengganti sirene, paling tidak untuk masyarakat di sekitarnya.
Menurut penuturan Imam Masjid A. Nasriza, banyak orang yang niat untuk dapat shalat di masjid ini. Bahkan, Syech Muda Waly Al-Khalidi (seorang ulama besar pendiri pondok Pesantren Darussalam Labuhan Haji), di waktu muda selalu menyempatkan shalat di masjid yang terletak semula di bibir pantai Teluk Tapaktuan itu. "Hal itu sering pula diikuti oleh anak-anak almarhum," ujar A. Nasriza.
No comments:
Post a Comment