Sunday, December 2, 2012

SEJARAH SUKU KLUWAT ACEH SELATAN



Kabupaten Aceh Selatan dengan ibukotanya Tapaktuan merupakan salah satu kota yang kaya sejarah di provinsi Aceh. Banyak situs budaya yang layak dijadikan objek wisata islami di daerah itu. Sayangnya, semua terkesan ‘tenggelam’ atau hilang seiring waktu.


Tak hanya objek wisata, sejumlah suku, bahasa, termasuk wilayah pun terkesan dilupakan. Sebut saja di antaranya suku dan wilayah Kluwat. Diwilayah tersebut terdapat sebuah suku yakni Suku Kluwat yang merupakan satu di antara dua suku lainnya seperti Suku Aceh dan Suku Aneuk Jamee yang hidup di wilayah Aceh Selatan. Suku ini umumnya terdapat di wilayah Kluet Utara, Kluet Timur, Kluet Tengah, dan Kluet Selatan.


Sejarah Suku Kluwat Menurut sejumlah literatur, kajian sejarah Kluet sangat erat kaitannya dengan Kerajaan Laut Bangko (Bukhari RA). Laut Bangko dulunya merupakan sebuah danau mini yang berlokasi di tengah hutan Taman Nasional Gunung Leuser, bagian barat, yang berbatasan dengan Kecamatan Bakongan dan Kecamatan Kluet Timur, saat ini.


Dikisahkan bahwa Kerajaan Laut Bangko ini pernah megah tempoe doeloe. Raja yang terakhir yang sempat memimpin kerajaan tersebut, menurut Bukhari, bernama Malinda dengan permaisuri Rindi. Setelah rajanya meninggal, daerah ini tenggelam kala banjir besar melanda.


Penduduknya kemudian berusaha mencari daratan baru, sebagain ke Tanah Batak, sebagian ke Singkil, sebagian ada yang masih tetap pada lokasi semula dengan mencari dataran tinggi yang baru. Dari sini kemudian timbul pendapat terjadinya kemiripan bahasa antara bahasa Kluwat dengan bahasa Batak, bahasa Alas, bahasa Karo, dan bahasa Singkil.


Sumber sejarah lisan lainnya menyebutkan bahwa saat berkecamuk perang dahsyat di Aceh, ada sebuah komunitas masyarakat kala itu yang terpecah-pecah akibat menyelamatkan diri. Ada yang lari ke wilayah Kerajaan Kecil Chik Kilat Fajar di Aceh selatan, ada yang melarikan diri ke pedalaman-pedalaman lainnya dalam wilayah yang sama. Yang berada di wilayah Chik Kilat Fajar kemudian membuka komunitas sendiri, yaitu di kaki gunung Kalambaloh. Sedangkan di wilayah lainnya, juga membuat komunitas sendiri pula sehingga masih terdapat kemiripan bahasa antara yang berada di wilayah Aceh selatan (Chik Kilat Fajar) dengan beberapa wilayah lainnya seperti Singkil, dan Tanoh Alas, termasuk Sumatera Utara.


Terlepas dari sejarah yang sulit ditemukan kekonkretannya itu, wilayah Kluet tetap diakui sebagai satu kesatuan dalam Kabupaten Aceh Selatan. Pengakuan ini sejak daerah tingkat II Aceh Selatan masih tersebar hingga ke Singkil, Subulussalam, dan Aceh Barat Daya. Hanya saja, mulanya Kluet masa itu dua wilayah saja, yakni Kluet Utara dan Kluet Selatan. Kluet Utara beribukotakan Kotafajar dan Kluet Selatan ibukotanya Kandang.


Dalam suku kluwat dikenal dua macam syair dalam kearifan masyarakat Kluwat: syair mebobo dan syair mekato. Syair mebobo biasanya digunakan oleh rombongan pengantar pengantin laki-laki (linto baro). Sedangkan syair mekato, merupakan pantun yang berbalas-balas antara rombongan mempelai laki dan rombongan mempelai perempuan.


Syair mebobo juga kerap digunakan saat melepas anak pergi ke rantau atau saat sunat rasul. Kebiasaan ini masih hidup dalam masyarakat Kluwat hingga sekarang. Dalam masyarakat ini berlaku juga mitos-mitos semisal merampot disamun makhluk halus. Namun demikian, nilai-nilai keislaman juga masih kokoh di sana, di samping nilai gotong royong dan silaturrahmi. Karena itu, sangat disayangkan jika daerah ini kemudian terkesan abai dari perhatian pemerintah. Apalagi, di tengah kecamuk internal dalam masyarakat itu sendiri.

1 comment:

Unknown said...

sejarahnya keren, tapi klo bisa di tambah lagi seperti, sejarah mesjid tertua di aceh selatan....
thanks,...